Terasikip.com – Usulan Dasar Negara Ir Soekarno. Lahirnya dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila melalui proses perumusan yang lumayan panjang serta ada banyak tokoh yang terlibat di dalamnya.
Dalam melakukan perumusan Pancasila, langkah pertama-tama diawali dengan terbentuknya Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI (Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Adanya BPUPKI yang resmi didirikan pada 1 Maret 1945 adalah tindak lanjut atas janji dari negara Jepang supaya memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Badan ini beranggotakan 64 anggota yang terdiri atas tokoh dari Indonesia dan 7 orang perwakilan dari Jepang.
Ketua BPUPKI adalah dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat dan dua wakil ketua R.P. Soeroso dan Ichibangase Yosio dari Jepang. BPUPKI telah menyelenggarakan dua kali sidang resmi dan satu sidang tidak resmi.
Sidang pertama diadakan pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 yang dipimpin oleh Ketua BPUPKI untuk membahas wilayah negara, dasar negara, rancangan undang-undang dasar, dan kewarganegaraan.
Kemudian, sidang kedua dilaksanakan pada 10-17 Juli 1945 membahas wilayah negara, bentuk negara, kewarganegaraan, undang-undang dasar, keuangan, ekonomi, pembelaan, pengajaran, dan pendidikan.
Perumusan dan usulan dasar negara Perumusan dasar negara dimulai pada sidang pertama BPUPKI yaitu pada 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut tiga tokoh bangsa Indonesia yaitu Mohammad Yamin, Soekarno, dan Soepomo, mengusulkan poin-poin dasar negara.
Usulan Dasar Negara Ir Soekarno. Pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan dasar negara yang terdiri dari 5 poin dan dinamakan Pancasila:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme atau Perikemanusiaan
- Mufakat atau Demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan yang Berkebudayaan
Semua usulan dari ketiga tokoh bangsa Indonesia tersebut lalu dibungkus untuk dibahas dan dirumuskan Panitia Sembilan yang resmi dibentuk oleh BPUPKI.
Usulan Dasar Negara dan Polemik Piagam Jakarta
Sebagian umat Islam susah menerima kalau rumusan yang dihasilkan melalui rapat alot Panitia Sembilan sepanjang 21 hari, serta diperdebatkan hingga sepekan dalam persidangan BPUPKI, dapat diganti cuma dalam belasan menit.
Seorang tokoh Masyumi, M. Isa Anshari dalam persidangan Konstituante 1957, semacam dilansir dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945(1981) mengatakan bahwa peristiwa yang mencolok mata itu, dialami oleh umat Islam selaku sesuatu game sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia selaku game politik pat gulipat terhadap golongannya, namun mereka (umat Islam) diam, tidak mengadakan tantangan serta perlawanan sebab jiwa toleransi mereka.
Kekecewaan Isa tertuju kepada Soekarno. Dia mempertanyakan kedudukan Soekarno yang terkesan inkonsisten. Karena, bagi Isa, Soekarno lah yang semula gigih mempertahankan Piagam Jakarta di persidangan BPUPKI, namun Soekarno jugalah yang dianggapnya berkontribusi mengubah isi Piagam Jakarta.
Isa juga mengatakan, apakah sebabnya Ir. Soekarno yang sepanjang sidang-sidang BPUPKI dengan mati matian mempertahankan Piagam Jakarta, setelah itu malah memelopori usaha buat mengubahnya? Isa tidak mengetahui.
Usulan Dasar Negara Ir Soekarno. Kedudukan Soekarno dalam sejarah Piagam Jakarta barangkali menempati posisi sangat ambigu dibandingkan para pendiri negara bangsa lain. Selaku Pimpinan Panitia 9, dia sukses membangun kompromi yang menjembatani perbandingan antara kalangan nasionalis sekuler serta kalangan nasionalis Islam tentang pembukaan dasar negara.
Kompromi yang dihasilkan pada 22 Juni 1945, pas hari ini 77 tahun kemudian, oleh Meter. Yamin diberi nama Piagam Jakarta. Prinsip komprominya merupakan Islam tidak jadi dasar negera, namun umat Islam harus melaksanakan syariat Islam yang hendak diatur dalam konstitusi. Perihal itu tertuang dalam kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Usulan Dasar Negara Ir Soekarno. Pada 10 Juli 1945, Soekarno mengantarkan rumusan Piagam Jakarta dalam persidangan BPUPKI. Dikala itu dia bersungguh- sungguh meyakinkan anggota persidangan buat menerima Piagam Jakarta selaku rumusan terbaik pembukaan UUD 1945.
“Panitia kecil penyelidik […] berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai,” kata Soekarno, seperti dilansir dari Risalah BPUPKI-PPKI karya M. Yamin.
Dikala Johannes Latuharhary, wakil dari Ambon, melaporkan keberatan terhadap Piagam Jakarta pada 11 Juli 1945, Soekarno jugalah yang tampak membela. Dia membantah kekhawatiran Latuharhary kalau kewajiban melaksanakan syariat Islam untuk pemeluknya hendak menghasilkan benturan dengan hukum adat di warga.
“Jadi, manakala kalimat ini tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini: jadi perselisihan terus nanti,” ujar Soekarno.
“Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes,” tambahnya.
Statment Soekarno juga didukung oleh Agus Salim serta Wahid Hasyim. Sehabis dibahas secara maraton sepanjang sepekan dari 10 Juli sampai 16 Juli 1945, Piagam Jakarta kesimpulannya disahkan selaku Mukadimah UUD 1945.
Para founding fathers setuju mempertahankan kalimat: “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.”
Usulan Dasar Negara dan Pengubahan secara Tiba-tiba
Sabtu pagi, 18 Agustus 1945, saat sebelum persidangan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diawali, Hatta serta Soekarno menggelar rapat nonformal bersama beberapa tokoh Islam, di antara lain Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, serta Teuku Mohammad Hasan.
Rapat mangulas permintaan perwakilan Indonesia timur buat menghapus kalimat yang mengharuskan syariat Islam untuk pemeluknya dalam Piagam Jakarta. Bila permintaan itu tidak dipadati, perwakilan Indonesia timur mengacam hendak memisahkan diri dari Indonesia. Untuk beberapa tokoh Islam, permintaan itu susah diterima. Karena, untuk sebagian mereka, mempraktikkan syariat Islam ialah salah satu alibi kenapa perjuangan memerdekakan Indonesia dicoba.
Tetapi para tokoh Islam pula sadar membiarkan Indonesia timur berpisah hendak melemahkan posisi diplomasi Indonesia di mata dunia. Sehingga Belanda dapat dengan gampang kembali menjajah. Kesimpulannya, satu persatu para tokoh Islam melunak, kecuali Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo. Dia bersikeras mempertahankan isi Piagam Jakarta.
Di sinilah setelah itu Soekarno memainkan kedudukan dengan memohon Kasman Singodimedjo jadi anggota bonus PPKI bersama Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, serta Ahmad Subarjo. Walhasil, jumlah anggota PPKI jadi 27 orang dari semula 21 orang.
Soekarno menugaskan Kasman membujuk Ki Bagus lantaran lobi Wahid Hasyim, Teuku Meter. Hasan, sampai Bung Hatta tidak sanggup melunakan pendiriannya. Soekarno ketahui Kasman mempunyai keakraban emosional dengan Ki Bagus sebab sesama Muhammadiyah.
Tetapi Soekarno sendiri, semacam dalam kesaksian Kasman, nampak tidak mau ikut serta lebih dalam proses lobi menghapus 7 kata Piagam Jakarta.
Kasman dalam ‘Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun’ mengatakan bahwa bisa jadi sebab dia selaku Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta paling utama selaku peserta dari Panitia 9 mengenai pembuatan Piagam Jakarta merasa agak kagok buat menghadapi Ki Bagus Hadikusumo serta kawan- kawannya.
Meski semula menolak, Kasman kemudian melunak mengingat suasana susah yang dialami Indonesia. Dengan bahasa Jawa halus, Kasman membujuk Ki Bagus. Dia menerangkan dalam Undang- Undang Bawah yang hendak disahkan hari itu ada satu pasal yang melaporkan kalau 6 bulan sehabis Majelis Permusyawaratan Rakyat dibangun, hendak dicoba persidangan penyempurnaan Undang- Undang Bawah.
Di dikala seperti itu kalangan Islam dapat kembali memperjuangakan isi Piagam Jakarta. Mendengar uraian Kasman, Ki Bagus kesimpulannya luluh. Dia sepakat 7 kata dalam Piagam Jakarta dihilangkan dalam persidangan formal PPKI. Pergantian tersebut mengganti batang badan UUD 1945.
Dalam rapat formal PPKI, yang dipandu Soekarno, disepakati beberapa perihal semacam: mengganti kata “Mukaddimah” dalam pembukaan UUD 1945 jadi “Pembukaan”. Setelah itu mencoret kalimat “beragama Islam” dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 dari semula berbunyi: “Presiden yakni orang Indonesia asli dan beragama Islam” jadi “Presiden yakni orang Indonesia asli”.
Berikutnya, Pasal 29 ayat 1 diganti dari “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.”
Belum lama Kasman mengatakan “menyesal” dengan kedudukannya membujuk Ki Bagus. Airmatanya menetes saban mengingat kedudukannya menyetujui penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta pada pagi 18 Agustus 1945.
Kasman kemudian mengatakan bahwa ia turut bertanggung jawab dalam permasalahan ini. Ia juga berharap mudah-mudahan Allah mengampuni dosanya.
Perilaku Soekarno yang ambigu tidak pelak jadi pusat kritik oleh beberapa tokoh Islam.
“Apa sebab rumus Piagam Jakarta yang didapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan’ pada 18 Agustus 1945, di dalam beberapa menit saja, dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya?” kata Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito.
Piagam Jakarta serta Demokrasi Terpimpin
Wacana mengembalikan Piagam Jakarta kembali jadi pokok bahasan politik pada Januari 1959. Dikala itu kabinet secara bundar meloloskan resolusi Soekarno buat menerapkan
Demokrasi Terpimpin dalam kerangka kembali ke UUD 1945. Dari 24 poin resolusi, poin kesembilan melaporkan keberpihakan Soekarno terhadap aspirasi umat Islam yang mau Piagam Jakarta dikembalikan: “Demi memenuhi harapan-harapan kelompok Islam dalam kaitannya dengan upaya memulihkan dan menjamin keamanan umum, keberadaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diakui.”
Usulan Dasar Negara Ir Soekarno. Pada 22 April 1959, Soekarno mengantarkan gagasan tersebut di depan Konstituante. Debat sengit terjalin. Kelompok non- Islam menyangka Piagam Jakarta cumalah salah satu dokumen mengarah kemerdekaan yang tidak dapat dijadikan sumber hukum. Kebalikannya, kubu Islam menyangka Piagam Jakarta bukan cuma mempengaruhi pembukaan UUD 1945 tetapi pula segala batang badan UUD 1945.
Dengan demikian, dia senantiasa mempunyai arti hukum serta dapat dipakai selaku sumber hukum buat mempraktikkan aturan- aturan Islam untuk umat Islam. Sedangkan itu Kahar Muzakkir, seseorang tokoh Muhammadiyah, mempertanyakan iktikad pemerintah menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Kahar curiga Soekarno cuma mau “memperalat” umat Islam buat memuluskan kepentingannya melakukan demokrasi terpimpin. Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen serta Islam di Indonesia (2004) mengatakan bahwa oleh sebab itu Soekarno menganjurkan supaya Konstituante melanjutkan tugasnya hingga bisa diperoleh sesuatu hasil yang dapat diterima umat Islam serta bisa dipertanggungjawabkannya.
Usulan Dasar Negara Ir Soekarno dan adanya perdebatan tidak kunjung usai mengenai status Piagam Jakarta, akhirnya mendesak Soekarno menghasilkan Dekrit pada 5 Juli 1959. Lewat dekrit yang didukung penuh kelompok militer tersebut, dia membubarkan Konstituante serta melaporkan kembali ke UUD 1945. Pembukaan dekrit ini melaporkan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 serta ialah bagian integral dari UUD 1945.
Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim serta Kuasa (2012) mengatakan bahwa walaupun demikian status 7 kata senantiasa tidak jelas serta terus jadi perkara kontroversial. Perkara ini pada kemudian tenggelam dalam hiruk-pikuk Manipol Usdek serta Nasakom yang digelorakan Soekarno sendiri.
Ahmad Syafii Ma’rif dalam Islam serta Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin (1996) secara tersirat memperhitungkan hilangnya 7 kata Piagam Jakarta diakibatkan minimnya kegigihan wakil- wakil Islam dalam memahami komposisi sofa di PPKI.
Baginya, dari 27 anggota PPKI, cuma terdapat 3 perwakilan organsiasi Islam, ialah Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama) dan Ki Bagus serta Kasman (Muhammadiyah).
Kata Maarif, nyatanya pada waktu itu, wakil-wakil kalangan Islam sangat rendah hati buat berebut memahami PPKI, sampai jelas wakil nasionalis jadi sangat dominan dalam tubuh itu.
Tentang usulan Dasar Negara Ir Soekarno, hingga medio 1965, Soekarno nyatanya sadar kalau Islam masih sebagai kunci untuk langkah-langkah politiknya. Dia terus memainkan isu Piagam Jakarta buat menarik simpati tokoh serta politisi Islam yang kecewa.
“Nah Jakarta Charter ini, saudara-saudara, sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945, dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang … Ditandatangani oleh –saya bacakan, ya– Ir. Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr. Mohammad Yamin, 9 orang,” ujar Sukarno dalam peringatan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1965.
1 Comment