Terasikip.com – Tetenger, Monumen, dan Warisan Ingatan Hantu Maut merupakan edisi khusus sebuah tulisan bersambung mengenai kajian ingatan / memory dalam sudut pandang sejarah. Tulisan ini ingin menjawab bagaimana tetenger dan Monumen Hantu Maut sebagai situs memori, berupaya untuk menghadirkan kembali ingatan mengenai perjuangan laskar pemuda atau rakyat pada masa Revolusi.
Situs Memori Revolusi di Yogyakarta (Sebuah Pengantar)
Periode revolusi dalam sejarah Indonesia terjadi dalam rentang waktu 1945 sampai dengan 1950 jika menilik pembabakan M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Meski terminologi periode revolusi tidak lebih banyak diingat dari pada Proklamasi, namun revolusi merupakan kata yang sakti, demikian pendapat dari Benedict Anderson.
Benedict Anderson menyebut bahwa revolusi kemerdekaan merupakan istilah yang murni, popular, timbul dengan spontan dari tanah Indonesia sendiri. Kesaktian revolusi nampak pula dalam pemaknaan Anthony Reid dalam bukunya Revolusi Nasional Indonesia, yaitu restrukturisasi fundamental dari suatu sistem politik dengan kekerasan pada waktu yang singkat.
Euforia kemerdekaan di masyarakat segera mengemuka saat “kekuatan asing” ingin kembali masuk ke negara ini. Pertempuran-pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan kemudian muncul di berbagai daerah bak cendawan di musim hujan. Konflik antara Belanda dan republik yang baru saja lahir mengenai kedaulatan segera dimulai. Ricklefs memaparkan mengenai perbedaan sudut pandang dari pihak-pihak yang terlibat pada “konflik dua negara” pada masa ini.
Menurut Anthony Reid, revolusi kemerdekaan terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Yogyakarta, sebuah negeri monarki yang turut bergabung dalam Republik. Sempat menjadi Ibukota Republik dan menghadapi agresi-agresi militer yang dilakukan oleh Belanda. Pelaksanaan “aksi polisionil” kedua berhasil menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Tetenger, Monumen, dan Warisan
Aksi yang juga dikenal dengan Agresi Militer Belanda II ini memantik beragam reaksi berbeda baik dari pemerintah, TNI maupun masyarakat di Yogyakarta. Masyarakat sendiri secara sukarela bahu-membahu berjuang untuk mengusir kekuatan Belanda yang mencoba untuk kembali menguasai dan mempertahankan ibu kota republik. Hal yang menarik dan menjadi bagian dari perjuangan menghadapi Agresi Militer II di Yogyakarta adalah keberadaan elemen masyarakat yang turut serta. Mereka dikenal secara umum sebagai laskar rakyat maupun gerilyawan.
Uji Nugroho Winardi memberikan terminologi yang menarik mengenai laskar rakyat. Menurutnya, istilah laskar rakyat tidak digunakan untuk menyebut satu badan perjuangan saja namun dipakai oleh berbagai kelompok yang beragam dan kebanyakan satu dengan yang lainnya tidak terjalin dalam satu struktur. Sedangkan gerilyawan merupakan orang (pasukan) yang bergerilya, tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan secara tiba-tiba; perang secara kecil-kecilan dan tidak terbuka.
Bubarnya laskar-laskar pemuda atau rakyat, serta pasukan gerilyawan pasca pengakuan kedaulatan, membuat perjuangan mereka tidak begitu dikenal saat ini. Keberadaan serta perjuangan mereka pada masa revolusi kemerdekaan tersebut, masih dapat dilihat melalui penanda memori berupa monumen. Khusus untuk wilayah Yogyakarta, banyak pula masyarakat yang menyebutnya sebagai tetenger pada saat ini.
Tetenger berasal dari kata têngêr, yang didefinisikan dalam Bahasa Jawa sebagai tandha, juga dapat berarti ciri. Tetenger secara visual biasanya lebih kecil dan sederhana dari pada apa yang kita sebut sebagai monumen. Tetenger tidak hanya dijumpai di pusat kota, namun juga terdapat di sudut-sudut desa yang dulunya menjadi tempat sebuah peristiwa sejarah.
Pierre Nora menyebutnya sebagai sites of memory, tetenger berada dalam konteks ini. Monumen maupun tetenger sebagai situs memori, berfungsi sebagai penanda ingatan masa lalu namun dalam tatapan atau kendali sejarah. Maka, membutuhkan penghadiran kembali ingatan-ingatan akan peristiwa di masa itu dengan menggunakan situs memori. Keberadaan situs memori bahkan seringkali tidak mampu mencegah memori dari “kematian ketiganya”.
Berlanjut di Bagian 2 …
Note: Tulisan ini merupakan bagian 1 dari 3 bagian yang dipublikasikan secara bersambung.
Penulis:
Rosita Nur Anarti
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM dan Pekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I.Y)
1 Comment