Terasikip.com – Riwayat Industri Gula Yogyakarta pada masa kolonial tidak terlepas dari perkembangan ekonomi di Jawa. Jawa merupakan wilayah jajahan yang sangat menguntungkan bagi negara Belanda. Sartono Kartodirdjo mengutip pernyataan J.C Baud yang menyatakan bahwa Pulau Jawa merupakan “gabus tempat Nederland mengapung”. Lebih lanjut, Sartono mengartikan bahwa Jawa dipandang sebagai sapi perahan (Kartodirjo, 2014).
Eksploitasi Jawa tersebut dilakukan dengan melaksanakan cultuurstelsel atau lazim dikenal dengan tanam paksa. Komoditas perkebunan masa tanam paksa yang bertahan sampai masa-masa selanjutnya adalah tebu. Perkebunan-perkebunan tebu dibuka untuk memenuhi kebutuhan industri gula.
Salah satu wilayah di Pulau Jawa yang paling banyak memiliki pabrik gula adalah wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Kedua wilayah ini merupakan “tanah raja” atau dikenal dengan istilah vorstenlanden yang memiliki tanah vulkanik subur untuk perkebunan tebu pendukung industri gula. Vosrtenlanden adalah istilah untuk menyebutkan daerah Kerajaan (Kasultanan) Yogyakarta dan Kerajaan (Kasunanan) Surakarta tahun 1799. Wilayah ini sebelumnya merupakan Kerajaan Mataram Islam yang kemudian terpecah karena Perjanjian Giyanti.
Wilayah Kasultanan Yogyakarta pada awal abad ke-20 memiliki 17 pabrik gula dan puluhan ribu hektar perkebunan gula. Kondisi ini melibatkan banyak petani lokal dan migran sebagai tenaga kerja, mengenalkan orang pada pengolahan tanah yang modern, memperkenalkan ekonomi uang di pedesaan (Akhyat A, 2021). Tampilnya Yogyakarta sebagai kawasan pengekspor gula di Jawa, juga berpengaruh terhadap aliran keuntungan ke kasultanan.
Salah satu raja di Kasultanan Ngayogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono VIII bahkan dikenal sebagai Sultan Sugih (kaya). Berkembangnya pendirian pabrik itu mengikuti penghapusan Tanam Paksa (1870) dan dimulainya politik kolonial liberal, yang memberi kebebasan kepada swasta untuk membuka usaha (Moedjanto, 1994).
Yogyakarta dan Keraton
Luas geografis Yogyakarta sebetulnya sempit, namun pabrik gula tersebar di berbagai wilayah yang kini menjadi Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulonprogo. Kehidupan ekonomi yang melibatkan masyarakat pernah berjalan dalam manis roda industri gula sebelum mengalami pukulan pada masa krisis 1930 dan pendudukan Jepang. Yogyakarta menjadi wilayah yang “spesial” sebagai kerajaan yang memutuskan diri untuk bergabung pada republik dengan segala konsekuensi sosial serta ekonominya.
Yogyakarta sebagai wilayah yang akhirnya memutuskan bergabung ke dalam NKRI, memiliki cara tersendiri dalam membangkitkan ekonominya. Dinamika zaman turut mengubah banyak aspek kehidupan kerajaan ini. Sultan HB IX, mencoba mengambil inisiatif ekonomi untuk Yogyakarta.
Pusat Data dan Analisa Tempo (2019) menuliskan bahwa “di zaman Republik ini, seorang raja lebih mirip seorang presiden direktur”. Raja yang memutuskan melebur ke dalam republik tentunya harus memikirkan cara untik menunjang hidup Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan HB IX kemudian mendirikan perusahaan-perusahaan, yang salah satunya adalah pabrik gula dan spritus di Madukismo.
Pabrik gula ini dinilai maju karena beberapa surat kabar memberitakannya sebagai terbesar se-Asia Tenggara, produksinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Lebih lanjut Pusat Data dan Analisa Tempo menyatakan bahwa Pabrik Gula Madukismo merupakan sebuah contoh sumber dana untuk keraton. Keberadaan sumber dana tersebut menyebabkan keraton bisa mandiri.
Manis-Pahit Gula di Tanah Raja
Catatan mengenai riwayat industri gula Yogyakarta maupun perkebunan tebu berbeda-beda dalam beberapa literatur. Suhartono mencatat, di daerah Yogyakarta terdapat 11 perkebunan tebu (Suhartono, 1995).
Berdasarkan peta Kaart Der Fabrieken Spoor en Tramwegen tahun 1909 di wilayah vorstenlanden khususnya Kasultanan Yogyakarta memiliki 18 pabrik gula. Sementara itu beberapa literatur ada pula yang menyebut sejumlah 19 pabrik gula. Melalui belasan perkebunan dan pabrik, Yogyakarta pernah menjadi salah satu pengekspor komoditi gula.
Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan perkebunan-perkebunan tebu di kedua wilayah vorstenlanden sangat pesat. Ricklefs memaparkan bahwa sebelum terjadinya depresi besar, masyarakat di sekitar industri gula Yogyakarta biasanya mendapatkan pemasukan total sekitar 8,3 juta dalam bentuk upah, sewa, dan kompensasi dari industri gula.
Cerita gula di Yogyakarta tidak selamanya manis, jumlah perkebunan dan pabrik di Yogyakarta juga mengalami penurunan. Kondisi ini diperparah dengan krisis ekonomi yang melanda dunia pada pertengahan tahun 1930-an. Dampak krisis ini sampai di Hindia-Belanda dan mengakibatkan banyak sektor perekonomian mengalami kerugian termasuk sektor industri gula.
Ricklefs mencatat, dalam setahun normal pra-depresi di Yogyakarta, industri gula menanam tebu pada lahan seluas sekitar 17.600 hektar. Menurut Arif Akhyat (2015) Depresi ekonomi atau dikenal sebagai malaise terjadi pula di wilayah Yogyakarta. Harga beras lebih rendah daripada tahun 1926-1929 sehingga petani memilih menjual tanahnya kepada kreditur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dikenal dengan zaman tuku dhuwit (zaman membeli uang) dan zaman larang dhuwit (zaman uang mahal).
Pada 1931, luas lahan tersebut menyempit menjadi 13.697 hektar, pada 1932 menjadi 6.499 dan pada 1933 menjadi hanya 1.110. Karena dirasa terus merugi, maka banyak pabrik gula yang harus ditutup. Pasca depresi, hanya terdapat dua pabrik gula yang masih beroperasi di Yogyakarta pada tahun 1933 (Ricklefs, 2012).
Depresi ekonomi di tahun 1930-an membutuhkan waktu cukup lama untuk kembali bangkit kemudian diikuti oleh keadaan politik Perang Dunia kedua yang berimbas kepada Hindia-Belanda. Kedatangan Jepang di Jawa mengubah situasi sosial dan ekonomi. Sehingga, menurut Departemen Penerangan RI (1964), sebelum Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, terdapat 86 buah pabrik gula di Jawa.
Jumlah tersebut merosot jauh apabila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jepang pada saat itu lebih menekankan ekonomi autarki untuk kepentingan peperangannya. Industri gula yang berorientasi ekspor dianggap tidak menjadi urgensi bagi kepentingan perang mereka. Dikesampingkannya produksi gula dan aktivitas perkebunan tebu oleh Jepang ini juga terjadi di Yogyakarta. Tujuh pabrik yang masih tersisa pada tahun 1942, kemudian dikuasai oleh tentara pendudukan Jepang (Laporan Penelitian HMA UGM, 2015). Tidak banyak literatur yang mencatat mengenai periode ini. Namun, fasilitas-fasilitas penunjang angkutan untuk tebu maupun hasil produksi, seperti rel kereta api, banyak diambil Jepang untuk dimanfaatkan di tempat lain.
Kondisi masa Jepang yang carut-marut, disusul oleh gelora Proklamasi kemerdekaan yang memantik reaksi Belanda. Kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi yang sedikit terabaikan karena adanya Agresi Militer I maupun II di masa revolusi kemerdekaan.
Kejayaan pabrik gula di Vorstenlanden berakhir pada tahun 1949 dalam kondisi ketika hampir semua pabrik gula dibumihanguskan dan dihancurkan oleh para pejuang. Tindakan ini dimaksudkan agar fasilitas tersebut tidak jatuh ke tangan Belanda sewaktu Agresi Militer Belanda II. Maka, pada masa pengakuan kedaulatan di tahun 1949, praktis riwayat industri gula Yogyakarta tidak lagi memiliki satu pun pabrik yang pernah berjaya di masa lalu.
Penulis:
Rosita Nur Anarti
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM dan Bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I.Y)
Leave a Reply