Terasikip.com – Menulis topik ini bukanlah perkara mudah. Saya perlu dua kali menyimak dengan seksama pidato yang disampaikan Megawati Soekarnoputri dalam HUT Partai PDI Perjuangan ke-50 pada Selasa, 10 Januari 2023. Pidato yang disampaikan di hadapan Presiden, Menteri-menteri kabinet serta seluruh kader PDIP se-Indonesia itu memang menuai banyak atensi publik. Terlihat pada hari setelah acara HUT partai selesai, nama Megawati sempat trending di platform Twitter. Bahkan media Kompas versi cetak secara resmi memuat isi pidato Megawati tersebut dalam satu halaman penuh.
Apa yang menjadi menarik dari pidato tersebut sebenarnya bukanlah karena PDIP merupakan satu-satunya partai dengan electoral threshold tertinggi akan mengumumkan calon presiden yang diusung, sebagaimana yang diharapkan melalui pemberitaan media pada beberapa minggu sebelum HUT berlangsung.
Momentum HUT partai yang menuai perdebatan kepastian siapa yang diusung antara Ganjar Pranowo atau Puan Maharani, ternyata belum berujung. Alih-alih menjadi perayaan bagi partai, dan kabar gembira bagi partai-partai lain yang turut menanti pengumumannya, HUT partai yang memuat dua jam pidato ketua umum PDIP, justru menampilkan kembali sisi kontroversi dari Megawati Soekarnoputri.
Berbicara mengenai Bu Mega, saya pikir tidak akan cukup dengan hanya menilik pada satu teks pidatonya. Sebagai tokoh politik yang sudah exist semenjak masa orde baru, dan tetap memiliki Kuasa hingga 25 tahun memimpin partai PDI Perjuangan, kiprah Megawati tentu bukan biasa-biasa saja.
Seorang yang disebut oleh Antropolog Made Supriatma sebagai Sang Matriach ini memang oleh publik dikenal bukan saja karena ia adalah Presiden RI ke-5 ataupun Ketua Umum PDIP selama 25 tahun, tetapi karena ia juga merupakan anak ke-2 dari Presiden RI pertama, Ir Soekarno.
Legitimasi sebagai anak dari Soekarno ini kita tahu pada satu sisi telah membuatnya dimusuhi selama hampir 32 tahun Orde Baru. Tetapi pada sisi lain, bukan menjadi rahasia umum lagi kalau PDIP yang dipimpin olehnya semenjak peristiwa Kudatuli juga dibangun di atas ketokohan Soekarno. PDIP seolah menghidupkan kembali Soekarno yang telah dikubur oleh Orde Baru.
Melalui momentum-momentum politik pasca reformasi, kita bisa tahu bahwa di jalan-jalan, gang, hingga ruang-ruang publik poster serta baliho Soekarno beserta kata-kata mistisnya hadir bersanding dengan logo partai PDI Perjuangan. Hal tersebut tentu wajar saja, mengingat Bu Mega adalah anak dari Sang Fajar. Penokohan ini dapat kita tafsirkan sebagai cinta yang tak pernah padam.
Kisah cinta sebagaimana PDI Perjuangan pada Bung Karno ini memang seakan menuju abadi. Meskipun nampaknya konsep cinta ini begitu berlebihan. Kecintaan pada Bung Karno terkadang justru berubah menjadi pemujaan, seolah-olah Bung Karno adalah semacam dewa atau Raja besar, bukan seorang manusia biasa yang juga luar biasa.
Kisah cinta ini seolah melupakan apa yang dikatakan Tolstoy bahwa “Ketika Anda mencintai seseorang, Anda mencintai orang itu apa adanya, bukan malah menjadi orang tersebut”. Dengan kata lain mencintai Bung Karno bukan berarti menjadikannya sebagai mitos politik, atau bahkan seperti apa yang dikatakan Ben Anderson sebagai pemfosilan. Sebuah bahaya yang justru menjadi titik penting dari pidato Megawati dalam HUT PDIP ke-50 kemarin.
Dalam satu paragraf pidatonya pada HUT PDIP ke-50 kemarin, secara langsung Megawati mengatakan bahwa “Saya itu bukan Komunis, tapi jika dikatakan sebagai Soekarnois, maka yes”, sebuah kalimat sederhana yang langsung dilanjut dengan gemuruh dan tepuk tangan kader.
Pernyataan ini tentunya dapat kita pahami dalam eufemis, seakan ia bukan apapun melainkan menjadi pemuja Bung Karno. Kalimat ini juga menjadi sebuah penegasan bahwa yang Bu Mega terima memang hanya berkaitan dengan Bung Karno, sembari ia tambahkan beberapa kisah dalam cerita-cerita heroik Soekarno serta mengenai perjuangan dirinya semasa menjadi presiden, hingga pada Orde Baru, masa di mana semua yang terkait Soekarno dilarang.
Pertanyaannya, lalu untuk apakah mitos cerita, kisah, dan perjuangan yang terkait Soekarno terus diproduksi? Di sinilah sebenarnya ujung di mana mitos disebar dan beroperasi.
Mitos memang tidak bisa dilepaskan dari kisah-kisah atau cerita-cerita. Rudolf Karl Bultmen memberikan penjelasan bahwa “Mitos lebih dari sekadar narasi karena menciptakan makna politik. Mitos menyusun masa lalu dan mempengaruhi masa kini”. Dalam artian Bultmen ini, kita dapat pahami bahwa mitos digunakan untuk menyusun masa lalu dalam hal apa yang masih penting bagi kita hari ini, yang tidak boleh dilupakan.
Kisah masa lalu ini diproduksi dan disebarkan dalam kurun waktu tertentu untuk memberikan pengaruh pada orang-orang yang hidup di masa sekarang. Dan mengenai hal inilah saya yakin bahwa sebagai tokoh politik Bu Mega mengetahui bagaimana Mitos dapat beroperasi terhadap orang-orang masa kini, yang sejatinya tidak mengalami betul kehidupan masa lalu. Bu Mega mengerti bahwa mitos menjadi hal penting untuk memberikan identitas dan dengan demikian menciptakan kepercayaan diri bagi individu maupun kolektif sosio-politik, kader partai.
Mitos politik dalam pidato Megawati memang tidak hanya dinarasikan sekali ini. Dalam kesempatan sebelumnya, pada momen yang sama, Megawati juga menekankan kepada kader partai untuk tidak keluar dari haluan yang sudah diperjuangkan oleh Bung Karno. Seolah-olah pada setiap momen di mana menjadi pertemuan akbar kader PDIP, Megawati tidak pernah menyimpan Bung Karno hanya untuk dirinya sendiri. Ia selalu berupaya mengoperasikan mitos melalui pidatonya pada pikiran-pikiran kader.
Di sinilah Megawati seolah meyakini betul apa yang dikatakan George Sorel, bahwa mitos politik adalah citra pemersatu yang menarik emosi daripada intelektual. Mitos mengenai Bung Karno telah beroperasi dalam emosional kader. Sesuatu hal yang menjadi jawaban mengapa partai ini, kini menjadi begitu besar dan kuat.
Mitos mengenai Soekarno ini memang perlu kita akui cukup berhasil menghidupkan daya juang kader, dan jika tidak berlebihan juga sukses menumbuhkan iman kader dalam prinsip pengorganisasian. Selain menekankan akan garis Bung Karno, Megawati dalam pidatonya kemarin juga memberi ultimatum kader untuk selalu turun ke Rakyat agar menang. Turun ke Rakyat ini memang pada satu sisi menyimbolkan klaim legitimasi PDIP sebagai partai wong cilik, tapi pada sisi lain jika kita sadar juga merupakan bagian mitos politik.
Merujuk pidato yang mengaitkan kemenangan partai dengan turun ke Rakyat, kita dapat menggali ulang sejarah Indonesia, bahwa Rakyat memang identik dengan Soekarno. Soekarno dikenal sebagai Presiden yang pidatonya di manapun didengar dan disimak oleh rakyatnya, serta dilegitimasi kerap berinteraksi dengan Rakyat dengan tujuan persatuan.
“Kredo turun ke rakyat yang kemudian menjadi mitos politik kemenangan ini setidaknya membantu menjelaskan kekuatan psikologis yang mendalam terhadap gagasan nasionalisme Jawa”
Di sinilah sebenarnya “turun ke Rakyat” sejatinya memang bukan kredo baru. Gambaran yang tepat mengenai perintah yang seakan merupakan keharusan bagi kader partai ini menyampaikan nuansa pemikiran politik Jawa.
Pergerakan politik Jawa tradisional kita tahu mengupayakan secara ideal suatu pusat Kuasa dan kewenangan yang tunggal, di mana penguasa selalu sebagai personifikasi kemanunggalan Rakyat. Kemanunggalan itu sendiri adalah simbol Kuasa, dan itulah yang menjadi alasan mengapa dalam tiap pemerintahan Negara Indonesia, persatuan merupakan obsesi. Keadaan di mana tanpa gejolak, tanpa oposisi politik, dan tanpa ideologi yang lain.
Turun ke Rakyat dengan tujuan persatuan yang ditekankan kepada kader dengan merujuk pada Bung Karno ini dapat kita rujuk pada kecemasan tradisional tentang terurainya Kuasa. Mengenai hal ini tentu Megawati sudah begitu hafal juga. Perintah “turun ke Rakyat” menandaskan bahwa Megawati memahami konsep dalam politik Jawa bahwa Kuasa adalah konkret, sebagai sebuah kenyataan eksistensial alih-alih suatu postulat teoritis.
Mitos kemenangan dengan “turun ke Rakyat” selain dapat kita rujuk pada konsepsi Bung Karno, kita juga dapat mendeteksinya pada program dan strategi PKI (Partai Komunis Indonesia); memiliki rumusan tradisional Marxis tentang perjuangan kelas yang ditransformasikan dalam gaya propaganda yang intinya adalah satu dengan Rakyat.
Kredo turun ke rakyat yang kemudian menjadi mitos politik kemenangan ini setidaknya membantu menjelaskan kekuatan psikologis yang mendalam terhadap gagasan nasionalisme Jawa. Tentu Megawati di sini adalah seorang Jawa, bahkan ia menjelaskan dirinya sendiri dengan begitu Jawa.
Sebagai sebuah mitos politik, turun ke Rakyat mengekspresikan dorongan mendasar untuk solidaritas dan kesatuan berhadapan dengan ancaman disintegrasi masyarakat dari kekuatan eksternal lain, sebagaimana hal ini juga dikatakan sebagai tugas BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang kebetulan dibina oleh Megawati.
Seperti juga tercantum dalam pidatonya, Megawati sempat berkelakar mengenai dirinya yang diangkat menjadi ketua badan pembina BPIP. Tentu mengenai BPIP tidak ada mitos politik berarti yang dapat dibicarakan di sini. BPIP di bawah binaan Megawati memang sekedar menjalankan apa yang telah diawali oleh Orde Baru, sebagai ideologi tunggal. BPIP seolah bingung dengan arah Pancasila, dengan akhirnya Pancasila justru cenderung sebagai kontrol terhadap perilaku warga, alih-alih sebagai gawang dalam tiap-tiap aturan pemerintah.
Di sinilah sebenarnya mengapa pada awal paragraf, saya cenderung berpikir bahwa Soekarno dalam diri cinta Megawati memang sebatas mitos politik, ketimbang perlu dipahami sebagai tokoh yang hidup pada masanya. Berbeda dengan BPIP, Soekarno tidak pernah menekankan pancasila sebagai ideologi tunggal atau pun sebagai kontrol perilaku warga negara. BPIP melalui arahan ketua badan pembinanya, Megawati, seharusnya perlu menggali bibit gagasan penting mengenai Pancasila, tetapi bukan sebagai warisan Soekarno ataupun lainnya. Melainkan sebagai komitmen masa sekarang dan masa mendatang.
Bukan tidak mungkin di bawah BPIP, Pancasila akan diproduksi menjadi sekedar mitos politik bagi penguasa dan bahkan partai tertentu di masa selanjutnya. Mitos politik yang sebagaimana menjadi kritik Cristopher Flood terhadap George Sorel, bahwa mitos politik dipakai sekedar sebagai bentuk komunikasi manipulatif yang disengaja, bukan untuk ideologi, tetapi sekedar kepentingan dalam momen politik.
Penulis:
Faith Liberta Muhammad
(Aktivis dan Pegiat Lingkungan)
Leave a Reply