Terasikip.com – Prof. Dr. H Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka (bahasa Arab: عبد الملك كريم أمر الله; 17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) sudah diketahui luas selaku cendekiawan Islam serta pengarang roman ternama semacam Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk. Tetapi sesungguhnya Hamka pula seseorang penulis sejarah.
Lumayan banyak karya tulisnya yang mangulas sejarah Islam serta sejarah Indonesia. Menariknya, sebagian karangannya tentang sejarah bertabiat gugatan, paling utama gugatan atas penyusunan sejarah Indonesia.
Apa yang digugat Hamka yakni penyusunan sejarah Indonesia yang dinilainya sangat Jawasentris. Dia memandang beberapa bahaya yang tercantum dalam penyusunan narasi sejarah Indonesia yang Jawasentris ini.
Pada 17 Januari 1957, tidak lama sehabis Dewan Banteng didirikan, dikala gejolak di Sumatera makin intens, Hamka menulis sebuat postingan bertajuk “Tinjaulah Sejarah (Penyusunan Sejarah)” di pesan berita Haluan.
Dalam postingan yang setelah itu dibukukan oleh Gusti Asnan dalam Demokrasi, Otonomi, serta Gerakan Wilayah: Pemikiran Politik Orang Minang Tahun 1950- an ini, Hamka memandang, tidak hanya perkara pembagian ekonomi yang tidak adil, gejolak di wilayah pula turut dipicu oleh penyusunan sejarah Indonesia yang tidak adil.
“Di dalam buku-buku sejarah yang ‘diakui’ oleh pihak pendidikan, lebih diutamakanlah ‘Sejarah Jawa’ di zaman purbakala. Kalau hendak mengetahui ‘Sejarah Indonesia’, hendaklah didahulukan Jawa, hendaklah dikaji sedalam-dalamnya tentang Majapahit. Hendaklah disanjung tinggi Gajah Mada dan Hayam Wuruk,” tulis Hamka.
Sedangkan itu, keluhan Hamka, dalam buku- buku sejarah buat anak sekolah, sejarah wilayah semacam sejarah panjang Kerajaan Aceh malah cuma ditampilkan sekilas “… paling banyak 5 lembar”.
Gajah Mada yang diagungkan selaku pahlawan pemersatu Nusantara, di banyak wilayah di luar tanah Jawa malah dilihatnya selaku “penanam dendam”. Majapahit yang ditafsirkan selaku sistem pemerintahan yang sempurna, untuk wilayah, lanjut Hamka, merupakan simbol penaklukan.
Hamka setelah itu memperingatkan kalau, “selama sejarah Indonesia masih dipusatkan di Jawa, sampai 200 atau tiga 300 halaman, sedang sejarah seluruh kepulauan Indonesia di Luar Jawa—termasuk Batam dan Cirebon—hanya 30 atau 40 halaman, selama itu pula rasa tidak puas seluruh daerah tidak akan dapat dihalangi.”
Gugatan kembali diajukan Hamka dalam artikelnya- artikelnya yang terhimpun dalam Dari Perbendaharaan Lama (1963). Artikel- artikel dalam buku itu berasal dari serial tulisan Hamka menimpa sejarah Islam serta Indonesia di Mingguan Abadi dari tahun 1950- 1960. Di mari dia mulai memandang ikatan tidak sehat antara penyusunan sejarah Jawasentris dengan pembuatan bukti diri nasional Indonesia.
Masa- masa kala Hamka melontarkan gugatan- gugatannya, ialah antara 1950- 1965, memanglah diketahui selaku masa- masa pemantapan bukti diri nasional dengan narasi sejarah selaku salah satu instrumen berartinya.
Hamka sendiri menyadari kalau sesuatu “sejarah kebangsaan” diperlukan selaku landasan persatuan untuk bangsa yang baru tercipta serta tengah bergolak itu.
Tetapi bagi Hamka, nasionalisme ataupun kebangsaan yang diasalkan pada sejarah kebesaran Majapahit malah hendak mengganggu persatuan. Bila sejarah nasion Indonesia yang diisi oleh bermacam kebudayaan diasalkan pada Majapahit serta sejarah Indonesia yang ditulis menonjolkan sejarah serta kebudayaan Jawa, hingga hendak timbul pertentangan- pertentangan sebab masing- masing budaya memiliki pahlawan- pahlawan serta kebanggaan tertentu.
Pengagungan Majapahit yang kelewatan pula hendak mendesak timbulnya sentimen agama. Dikala mencari sebab- sebab kemunduran kejayaan Majapahit, orang dengan gampang hendak menuduh Islam selaku sebabnya.
Dikala itu bagi Hamka telah terdapat golongan yang “mengatakan kalau keruntuhan Majapahit merupakan sebab serbuan Islam.” Untuk Hamka, nasion Indonesia yang diasalkan pada Majapahit, walaupun nampak megah, tetapi rapuh di dasarnya.
Tidak hanya berpotensi jadi cikal bakal “hitlerisme”, baginya, kurun sejarah kejayaan Majapahit merupakan kurun yang penuh pertentangan antara orang Indonesia sendiri. Bila ini digali- gali terus, hingga perpecahanlah yang hendak mencuat.
Karenanya persatuan berbagai itu bisa terpecah dengan mudah, baik sebab konflik Internal antar daerah- daerah dalam kesatuan itu, ataupun oleh intervensi dari pihak luar yang menggunakan kerapuhan tersebut. Sejarah “…kebangsaan yang demikian, dapatlah memecah persatuan yang telah kita capai dan kemerdekaan yang ada di tangan kita,” tulisnya.
Visi Hamka Atas Sejarah Indonesia
Tidak hanya menggugat, H Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka ikut memiliki metode pandang berbeda terhadap sejarah kebangsaan Indonesia. Berbeda dengan narasi sejarah Indonesia Jawasentris yang dilihatnya hendak me-Majapahit-kan Republik Indonesia, Hamka memandang kalau nasion Indonesia merupakan suatu yang sifatnya modern.
Dia lahir dalam era modern di abad ke- 20 yang pada gilirannya melahirkan warga dan sistem pemerintahan yang modern pula. Pemikiran tersebut tergambar kokoh dalam karya Hamka yang lain, ialah Sedjarah Umat Islam di Sumatera (1950). Walaupun buku kecil ini secara spesial mangulas proses masuk serta berkembangnya Islam di Sumatera, tetapi secara universal narasi yang dibentuk Hamka mengembang ke soal yang lebih luas: proses pembuatan bangsa Indonesia yang modern, dan kedudukan sentral Islam dalam proses tersebut.
Bangsa Indonesia dalam pemikiran Hamka lahir di masa masa yang diucap Hamka selaku “kebangkitan gerakan Islam”, di paro kedua abad ke- 20. Masa masa ini diisyarati dengan timbulnya organisasi organisasi pergerakan Islam modernis yang bertabiat lintas budaya lintas geografis. Jawa serta Sumatera yang berbeda secara budaya serta terpisah secara geografis, dipersatukan oleh semangat kebangkitan Islam di dasar kepeloporan “kalangan muda”.
Organisasi- organisasi serta sekolah- sekolah modern yang didirikan kalangan muda di segala Hindia Belanda, sediakan bawah untuk terjadinya bangsa Indonesia. Dia pula semacam inkubator tokoh tokoh pemimpin pergerakan nasional yang nanti mengetuai Indonesia mengarah kemerdekaan. “Kebangunan Gerakan Islam di Indonesia” sendiri ditempatkan Hamka selaku bagian tidak terpisahkan dari gerakan pan- slam di tingkatan global.
Sebagian kalangan muda merupakan para sarjana yang baru saja kembali dari menuntut ilmu di Mekah pada dini 1900an, di dikala gagasan update Islam tengah menggelora di dunia Islam, paling utama Mesir serta Turki. Dengan kata lain, Hamka memandang sejarah bangsa Indonesia selaku bagian dari gerakan update Islam di dunia.
Secara hati hati H Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) membandingkan gerakan kalangan muda dengan Renaisans di Eropa. Kemajuan Eropa dilihat selaku keberhasilan pembaruan di dalam metode berpikir, dari ketundukan terhadap otoritas lama yang macet ke metode berpikir baru yang modern serta maju. Ini dapat dinilai selaku upaya Hamka buat mengontraskan antara Majapahit, yang kerap digambarkannya secara implisit suatu yang kuno serta kolot, dengan Indonesia selaku nasion- state yang baru serta modern.
Gugatannya serta visinya atas penyusunan sejarah Indonesia ini, semacam ditulis James Rush dalam Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern (2017:251) merupakan bagian dari suatu Adicerita.
“…di mana Indonesia, suatu negara modern, bakal bersatu di sekeliling nilai-nilai dan ajaran Islam.”
Leave a Reply