Terasikip – Gender dan Pekerja Perempuan. Ada dua tema utama yang perlu didefinisikan dalam membahas studi tentang women role in rural economy in colonial yaitu sejarah gender dan sejarah perempuan. Menurut Kuntowijoyo (2003) penulisan sejarah perempuan lebih menekankan pada perempuan sebagai gejala biologis, sementara sejarah gender menekankan pada relasi sosial-kuasa antara laki-laki dan perempuan, konsep feminimitas, serta konsep maskulinitas dalam masyarakat dan budaya tertentu. Dalam konteks sejarah, mulai disadari tentang adanya pergeseran penulisan tentang perempuan yaitu dari sejarah perempuan ke perspektif gender (Pradamira, 2019). Sehingga pembahasan women role dalam sejarah tidak hanya berkutat pada strata sosial perempuan, tetapi lebih dari itu yakni bagaimana relasi-relasi sosial dan kuasa mengakibatkan ketimpangan dan segregasi gender.
Ratna Saptari dalam artikelnya “The Differentiation of a Rural Industrial Labour Force: Gender Segregation in East Java’s Kretek Cigarette Industry, 1920-1990” mengkaji perubahan-perubahan struktur industri yang sebagian besar mempengaruhi sifat perekrutan tenaga kerja dalam industri rokok, di mana masyoritas tenaga kerjanya adalah perempuan. Dalam artikelnya Ratna Saptari mencoba mencari dasar pembeda kategorisasi pekerjaan dan siapa yang mengisi pekerjaan tersebut?. Pada akhirnya ditemukan bahwa faktor pembeda terpenting adalah sejauh mana pekerjaan diklasifikasikan dalam kategori “penting” dan “terampil”, serta siapakah pekerja (laki-laki atau perempuan) tersebut. Klasifikasi “penting” dan “terampil” ini lah yang kemudian menurut Ratna mengakibatkan segregasi gender antara laki-laki dan perempuan. Di sisi lain perkembangan industri rokok Indonesia menuju industri semi-mekanik yang mengakibatkan adanya perubahan profil angkatan kerja dalam jumlah yang besar. Perempuan terutama dirugikan karena mekanisasi industri rokok menyebabkan adanya pengurangan tenaga kerja yang kebanyakan diisi oleh perempuan.
Sementara itu, Elise Van Nederveen dalam artikelnya “Challenging the De-Industrialization Thesis: Gender and Indigenous Textile Production in Java Under Dutch Colonial Rule, C. 1830–1920” mencoba menggali narasi dibalik de-industrialisasi dengan menyelidiki asumsi Williamson yang didasarkan atas teori perdagangan Richardian. Menurutnya, asumsi Williamson memiliki beberapa masalah mendasar. Pertama, anggapan bahwa tenaga kerja dapat dialokasikan kembali tanpa biaya antara industri dan sektor-sektor dalam negara, serta tenaga kerja selalu dipekerjakan dengan sepenuhnya. Kedua, Richardian berasumsi bahwa barang-barang yang diperdagangkan itu sama jenisnya dan bersaing sempurna di negara-negara yang berdagang. Dan ketiga, perdagangan internasional dianggap sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Elise dalam penyelidikannya membantah de-industrialisasi dengan mengajukan studi kasus pada industri tekstil di Jawa-Kolonial yaitu bahwa rumah tangga Jawa dengan cerdas dapat menanggapi perubahan keadaan pasar, terutama fleksibiltas waktu perempuan. Selain, itu produsen tekstil pribumi mengkhususkan diri untuk memenuhi permintaan lokal sehingga produksi tekstil lokal di Jawa jauh lebih tangguh.
Tampaknya untuk masuk dalam diskusi tentang gender dan pekerja perempuan dalam dua artikel tersebut adalah dengan memulai pada pertanyaan mengapa perempuan bekerja di sektor non domestik yang berupah?. Pertanyaan tersebut menjadi penting sebagai bagian yang mengawali pengarusutamaan tenaga kerja perempuan ke sektor industri. Selain itu menurut (Dewi, 2019) pada abad XIX adanya pergeseran pekerjaan di mana perempuan tidak lagi sekadar di dalam rumah dengan pekerjaan domestik tanpa upah, melainkan ada di luar rumah dengan pekerjaan non− domestik yang mendapatkah upah atas pekerjaan itu.
Pada industri gula, orang yang mencari pekerjaan adalah orang yang tidak mempunyai tanah. Mereka menjual tenaga kerja kepada siapapun yang siap membayar gaji (Sumardjan, 1962). Di Surakarta banyak orang yang ingin menjadi tenaga kerja dalam industri gula, baik itu laki−laki ataupun perempuan. Mereka bukan sekadar ingin, melainkan menunjukkan responsnya atas desakan hidup dan ekonomi liberal (Dewi, 2020). Faktor ekonomi keluarga dan habisnya tanah-tanah garapan sebagai akibat dari industrialisasi setidaknya menjadi alasan utama mengapa perempuan bekerja di sektor non domestik.
Ada perbedaan mengenai perekrutan tenaga kerja perempuan di sektor industri. Misalnya dalam industri gula tidak ada rekrutmen tertentu maupun persyaratan khusus bagi perempuan yang ingin menjadi buruh di Industri Gula Surakarta. Tidak dipermasalahkan latar belakang pendidikannya, tidak menjadi soal usianya, dan tidak pula dibedakan antara perempuan yang sudah menikah dan belum menikah, antara yang sudah punya anak dan belum punya anak. Pada tahun 1930 jumlah buruh perempuan di Industri Gula Surakarta, tepatnya di perkebunan tebu ada sekitar 4.702 perempuan (Dewi, 2020).
Berbeda halnya di industri tenun dan rokok milik perusahaan asing dan negara, perekrutan tenaga kerja sebagian besar menyerap pekerja laki-laki yang relatif berpendidikan tinggi dan berbasis di perkotaan. Sementara perusahaan domestik yang kurang modal dan non mekanik merekrut tenaga kerja perempuan berbasis pedesaan yang kurang berpendidikan (Manning, 1980).
Di dalam industri rokok, perekrutan tenaga kerja yang tersegmentasi antara laki-laki dan perempuan mengakibatkan adanya ketimpangan dan segregasi gender. Segregasi gender tidak hanya diakibatkan oleh adanya segmentasi ke dalam pekerjaan yang menurut Ratna Saptari (1991) sebagai pekerjaan “penting” dan “terampil”, akan tetapi juga berdasarkan besaran upah. Di lain sisi adanya mekanisasi di dalam industri rokok pada tahun 1968 hingga 1980-an mengakibatkan perempuan rentan akan pemutusan kerja. Hal lain terjadi pada pekerja-pekerja perkebunan dan industri gula. Misalnya pembukaan lahan untuk tanaman tebu dilakukan dan didominasi oleh laki-laki, tetapi penanaman tebu dan pasca penanaman dikerjakan oleh apa yang disebut sebagai wanita penyiang, sementara pemupukan dan pemeliharaan umum dari tanaman sangat bergantung pada kerja para tenaga kerja perempuan dan anak-anak yang dibayar rendah (Knight, 2000).
Hal menarik terjadi pada tahun 1920-an di mana pabrik-pabrik mulai mengeluh karena pekerja perempuan mempunyai pekerjaan lain di luar industri (Knight, 2000:108). Menurut beberapa laporan dalam (Knight, 2000) menurunnya jumlah pekerja perempuan bukan semata-mata karena upah yang rendah, melainkan laki-laki telah mempunyai pendapatan yang cukup. Sementara itu dalam Elise Van Nederveen (2017) perempuan mempunyai peran sangat penting dalam ketika muncul de-industrialisasi di Jawa 1830-1920 dengan kemampuan adaptasi dan fleksibelitas waktu yang dimiliki sehingga perempuan (rumah tangga) mampu mencari alternatif ekonomi lainnya yaitu industri rumahan atau industri padat karya.
Menurut saya, diskursus tentang gender dan pekerja perempuan dalam industri tertentu memang menunjukkan adanya ketimpangan dan segregasi gender yang menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan dan tidak menguntungkan, akan tetapi dalam menghadapi industrialisasi tersebut perempuan juga mempunyai peran lebih (over power) dalam konteks ekonomi rumah tangga karena mempunyai pekerjaan ganda di tengah kesibukannya mengurusi anggota dan pekerjaan rumah tangga.
Catatan : Artikel ini merupakan pengembangan kajian dari 2 artikel :
– Ratna Saptari, ‘The differentiation of a rural industrial labour force: Gender segregation in East Java’s kretek cigarette industry, 1920-1990’, in: Paul Alexander, Peter Boomgaard & Benjamin White (eds), In the Shadow of Agriculture: Non-farm activities in the Javanese Economy. Past and present (Amsterdam 1991) ch. 6, pp. 127-150.
– Elise van Nederveen Meerkerk, “Challenging the de-industrialization thesis: gender and indigenous textile production in Java under Dutch rule, c. 1830-1920”, Economic History Review, Vol. 70, No. 4, (2017), pp. 1219-1243.
Leave a Reply