Terasikip.com – Lagu Sepasang Mata Bola. Siapa yang tak kenal dengan Ismail Marzuki, seorang komponis kondang Indonesia yang telah menciptakan sekian banyak lagu nasional. Seniman berdarah Betawi ini dikenal produktif dan berhasil membuat lagu-lagu yang masih dinyanyikan hingga saat ini.
Salah satu karya Ismail Marzuki adalah lagu Sepasang Mata Bola. Lagu ini merupakan lagu romantisme masa revolusi yang diciptakan oleh Ismail Marzuki pada tahun 1946. Lagu ini berkisah mengenai tibanya kereta api dari Jakarta yang membawa para penumpang perwira di Stasiun Yogyakarta (Tugu). Lirik mengenai perjuangan dan Stasiun Yogyakarta tersebut menjadikan Sepasang Mata Bola, kini diputar sebagai musik kedatangan kereta api jarak jauh di Stasiun Tugu, Stasiun Lempuyangan, dan Stasiun Wates.
Ismail Marzuki dan Lagu Perjuangan
Ismail Marzuki adalah anak Betawi tulen yang lahir di Gang Kernolong, Kramat Kwitang, tanggal 11 Mei 1914. Ayahnya Bernama Haji Marzuki Saeran. Tidak ada informasi bagaimana Riwayat Ismail Marzuki merintis ke dunia musik. Namun, ia bergabung dengan orkes “Lief Java” pada awal tahun 1930-an, NIROM Bandung pada sekitar tahun 1937, Orkes PPRK, Orkes Hosho Kanri Kyoku, dan OSD Jakarta (Teguh Esha dkk, 2005).
Salah satu tokoh pencipta lagu bernuansa perjuangan yang terkenal sampai saat ini adalah Ismail Marzuki. Beberapa lagu-lagu romantisme perjuangan karyanya yang terkenal adalah Gugur Bunga (1945), Halo-halo Bandung (1946), Selendang Sutera (1946), serta Sepasang Mata Bola (1946).
Driyarkara menyatakan bahwa lagu-lagu romantika karya Ismail Marzuki, khususnya yang diciptakan pada periode revolusi, menyampaikan pesan mengenai aspek romantika. Romantika tersebut dimetaforakan oleh Driyarkara seperti api yang membakar semangat. Aspek tersebut dikatakan merupakan bagian yang sangat penting dari jiwa revolusi. Lagu dan musik memang tidak secara langsung menjadi bagian dari pertempuran di medan perang. Namun, rasa yang disalurkan lewat lirik dan irama mampu menggugah semangat perjuangan di masa tersebut.
Menurut Zainuddin (1975), berbicara mengenai Sepasang Mata Bola, latar belakang penciptaan lagu ini adalah perjalanan Ismail Marzuki bersama Iskandar, Saleh Soewita, Aty Permana dan Djaya Asmara. Tujuan dari perjalanan tersebut adalah untuk menghadiri acara HUT RRI atau Perayaan Hari Radio yang pertama pada tanggal 11 September 1946 di Solo. Perjalanan ditempuh dengan menggunakan kereta api jurusan Jakarta-Solo dalam masa-masa revolusi mempertahankan kemerdekaan. Inspirasi lagu didapat Ismail Marzuki ketika kereta tiba di stasiun Yogyakarta.
Stasiun tersebut menjadi tempat tujuan pejabat pemerintahan dan orang-orang yang berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta karena pergantian ibukota. Suasana perjalanan dan Yogyakarta yang menjadi tujuan perpindahan setelah menjadi ibukota Republik Indonesia sejak Januari 1946 dituliskan dalam lirik Sepasang Mata Bola di bawah ini.
Hampir malam di Jogja ketika keretaku tiba
Remang-remang cuaca terkejut aku tiba-tiba
Dua mata memandang seakan akan dia berkata
Lindungi aku pahlawan daripada si angkara murka
Sepasang mata bola dari balik jendela
Datang dari Jakarta nuju medan perwira
Kagum ku melihatnya sinar nan perwira rela
Hati telah terpikat semoga kita kelak berjumpa pula
Sepasang mata bola gemulai murni mesra
Telah memandang beta di stasiun Jogja
Sepasang mata bola seolah-olah berkata
Pergilah pahlawanku jangan bimbang ragu bersama doaku.
Salah satu interpretasi mengenai lirik Sepasang Mata Bola, dipaparkan oleh Tashadi, dkk. Menurutnya Lagu tersebut merupakan gambaran perjalanan menuju Yogyakarta sebagai “medan perjuangan yang mengundang pemuda-pemuda untuk berbakti kepada ibu pertiwi”.
Lebih lanjut menurut Suhartono dalam Tashadi, dkk, lirik lagu tersebut adalah gambaran plastis sisi lain dari masa perjuangan yang menjadikan Yogyakarta sebagai tempat bertempur mempertahankan ibukotanya. Perjuangan tersebut dilatarbelakangi oleh NICA yang telah menguasai ibukota Jakarta, sehingga membuat rakyat Republik Indonesia berpindah ke Yogyakarta. Perpindahan ini mendorong perangkat pemerintah dan elemen pertahanan negara juga berpindah ke ibukota yang baru.
Interpretasi lain mengenai lagu ini berasal dari Goenawan Mohamad dalam artikel “K.A” yang cukup detail memaparkan mengenai penafsirannya lirik demi lirik. Goenawan menyatakan bahwa lagu tersebut sampai hari ini masih dinyanyikan dengan penuh nostalgia dan keharuan. Pembacaannya atas lirik Sepasang Mata Bola adalah suatu senja di Stasiun Tugu Yogyakarta saat kereta api dari Jakarta berpenumpang para pengungsi dari pendudukan Belanda tiba. Lebih lanjut, menurut Goenawan di antara kerumunan penumpang yang turun, nampak keberadaan prajurit-prajurit muda. Ada sebuah wajah yang hadir tiba-tiba, penulis mengartikan sebagai raut seorang wanita. Goenawan menuturkan inilah yang kemudian memulai cerita mengenai “tatapan mata seorang yang seakan-akan minta dilindungi dari ancaman si angkara murka kemudian terjadi.”
Lebih lanjut, Goenawan Mohammad (2017) juga menginterpretasi aspek romantika dalam lirik “datang dari Jakarta, ‘nuju medan perwira.” Seluk-beluk yang mengandung sedih dan gembira dimaknainya dari getaran hati pada sebuah pertemuan dan perpisahan. Hal ini diperkuat dengan “Semoga kelak kita berjumpa pula” frasa yang menunjukkan bahwa semangat mempertahankan Republik dikatakan “terasa bertaut dengan ketidakpastian.” Sebuah perjalanan, perpindahan, dan tentu saja keberangkatan untuk mati. Sisi sedih romantika kembali dipaparkan oleh Goenawan mengenai arti kereta api yang datang dan pergi, bahkan keberangkatan untuk perjuangan yang dekat dengan kematian.
El Widra (1987) memaparkan aspek memory making dalam lagu ini kepada para pejuang. Sepasang Mata Bola dikatakannya “menumbuhkan nostalgia pada para pejuang Angkatan 45, yang pernah berjuang menuruni lembah, gunung, dan bergerilya di hutan rimba”. Hal ini senada dengan interpretasi Goenawan Mohamad mengenai semangat mempertahankan Republik yang penuh dengan ketidakpastian. Pejuang bisa saja kembali dengan selamat, tetapi ajal di medan peperangan tetap selalu mengintai.
B.J. Habibie, mantan Presiden RI juga memiliki kesan dan memori individu mengenai Sepasang Mata Bola. Ia menuliskannya dalam The Power of Ideas dengan judul “Sepasang Mata Bola, Kesan Masa Kecil.” Habibie memaparkan bahwa ia paling menyenangi lagu Sepasang Mata Bola karena lagu seperti ini berkesan dan mengingatkannya kepada masa-masa lalu. “Pada waktu itu, saya masih kecil. Ini semuanya impress (kesan) yang kuat”.
B.J. Habibie pernah menjelaskan alasan mengenai Sepasang Mata Bola ini kepada wartawan Tuti Adhitama. Penjelasan tersebut dikutip oleh A. Makmur Makka (2020) sebagai berikut. “Itu nyanyian keroncong, nyanyian revolusi. Terus terang saja jika Anda mengalami sesuatu, misalnya pada waktu itu tercium bau parfum eau de cologne, tiap kali Anda bawa dan mencium cologne itu, Anda akan teringat pada situasi seperti itu. Demikian juga dengan lagu, dengan musik, karena saya mendengarkan lagu saat saya masih kecil”.
Ingatan Kolektif dalam Lagu Sepasang Mata Bola
Stasiun kereta api sebagai tempat penyedia layanan transportasi juga menjadi salah satu tempat yang memutarkan instrument musik tertentu. Setiap stasiun di Jawa memiliki musik pengiring kedatangan kereta api yang berbeda-beda. Ada yang memang berfungsi sebagai pengiring kedatangan kereta api, ada pula yang diputar terus-menerus di stasiun. Stasiun yang menggunakan musik pengiring khusus kedatangan kereta api di wilayah Yogyakarta adalah Wates, Tugu, dan Lempuyangan. Ketiga stasiun ini menggunakan instrument lagu keroncong Sepasang Mata Bola.
Instrumen tersebut diputar secara khusus untuk kedatangan dan keberangkatan kereta api jurusan Jakarta seperti K.A Bengawan, K.A. Fajar Utama, K.A. Senja Utama, dan lain-lain. Sepasang Mata Bola juga diputarkan ketika kedatangan kereta api yang berhenti sejenak di Stasiun Yogyakarta. Misalnya, K.A. Bangunkarta dari Pasar Senen dengan tujuan Jombang. Alunan Sepasang Mata Bola baik instrumen maupun musik beserta lirik tersebut secara tidak sadar memasuki ruang-ruang memori para penumpang yang sedang menanti kedatangan kereta di stasiun.
Tidak diketahui dengan pasti mengenai kapan maupun aturan terkait stasiun-stasiun di Yogyakarta mulai memperdengarkan alunan lagu Sepasang Mata Bola. Hal ini disebabkan karena ketiadaan berita yang dimuat dalam koran baik cetak maupun daring. Aturan-aturan mengenai pemutaran lagu sebagai musik kedatangan juga belum diperoleh penulis sampai dengan saat ini. Namun dalam video Youtube Muhammad Luthfi Suryalaksana, seorang penggemar kereta api menjelaskan bahwa kurang lebih sejak setahun ke belakang, sejak Desember 2021 instrumen Sepasang Mata Bola digunakan untuk menyambut kedatangan kereta api di stasiun besar di D.I. Yogyakarta. Stasiun itu adalah Yogyakarta (Tugu), Lempuyangan, dan Wates.
Penelusuran di kanal youtube Odilius Herlambang, juga menunjukkan bahwa para pengguna layanan transportasi di stasiun-stasiun tersebut mengenali beberapa versi instrument berbeda yang pernah diputarkan. Tercatat pada bulan Desember 2020, Stasiun Yogyakarta (Tugu) dan Lempuyangan memutar lagu Sepasang Mata Bola keroncong instrumental yang dibuat oleh Purwaka Music.
Musik keroncong yang terdengar santer ketika menjelang kereta api angkutan penumpang datang menjadi salah satu ciri khas stasiun ini menurut Jhansen Hendrik. Ia dalam unggahan video di kanal youtube-nya bahkan mengatakan “datanglah ke stasiun Lempuyangan, dan rasakan bernostalgia bersama kereta”.
Sepasang Mata Bola berdasarkan interpretasi yang dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, memang memiliki keterikatan kuat dengan Kota Yogyakarta di masa revolusi kemerdekaan. Aspek nostalgia dan memori kolektif dari beberapa penumpang kereta api di stasiun Yogyakarta serta pecinta kereta api mengetahui bahwa “instrumen Sepasang Mata Bola yang merupakan salah satu musik bersejarah bagi Yogyakarta”.
Hasil penelusuran penulis pada channel youtube Odilius Herlambang berjudul Bel Kedatangan Stasiun Yogyakarta & Lempuyangan – Sepasang Mata Bola by Purwaka Music memperoleh hasil dari Fajar Fitriyanto yang mengungkapan bahwa Sepasang Mata Bola menggambarkan perjuangan para pahlawan melawan Belanda. Ia mengutip sebaris lirik “lindungi aku pahlawan, dari pada si angkara murka”.
Penulis:
Rosita Nur Anarti
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM dan Bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I.Y)
Mars IPNU IPPNU
2 Comments