Sejarah Buntet Pesantren dalam Perjuangan Kemerdekaan RI

Sejarah Buntet Pesantren dalam Perjuangan Kemerdekaan RI 3
Ilustrasi: freepik.com

Terasikip.com – Sejarah Buntet Pesantren dalam Perjuangan Kemerdekaan RI. Adagium hubbul wathon minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman) merupakan pemikiran yang sangat mendasar serta mendalam dalam bermacam konteks, dan mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam mendesak umat Islam berperan aktif dalam berproses berbangsa serta bernegara.

Berpedang semangat hubbul wathon inilah yang membuat pesantren yang terdapat di Indonesia, berperan aktif pada masa masa pergerakan nasional dalam maraih kemerdekaan. Apalagi keberadaan pesantren jadi basis perjuangan rakyat yang sangat massif.

Dalam catatan sejarah, pemikiran serta perilaku pesantren tidak bersedia berkolaborasi dengan penjajah, apalagi perilaku perlawanan yang total yang diperlihat oleh kalangan santri selaku bentuk cinta tanah air. Pemikiran serta perilaku demikian tidak lepas dari pemikiran yang dibangun oleh kepercayaan teologis, filosofis serta sosiologis pesantren itu sendiri.

Sejarah Buntet Pesantren. Institusi pembelajaran tradisional ini yang tersebar di pelosok- pelosok bisa dikatakan ialah fakta geografis wujud “perlawanan” pesantren–kyai, santri serta masyarakatnya– terhadap kekuasaan yang sewenang wenang.

Dalam konteks pergerakan nasional, kesewenang wenangan yang dicoba oleh para penjajah di tanah air Indonesia. Selaku gerakan perlawanan terhadapan penjajahan yang sudah melaksanakan penindasan terhadap rakyat.

Perihal inilah yang tercermin dalam semangat Kyai Muqoyyim yang tidak lain merupakan pendiri Pesantren Buntet di Cirebon. Dia rela membebaskan jabatan Mufti Kesultanan Kanoman yang ialah satu dari 3 kesultanan yang terdapat di Cirebon, ialah Kesultanan Kasepuhan serta Kesultanan Kacirebonan. Karena jabatan yang disandang oleh Kyai Muqoyyim dirasa sangatlah terbatas serta tidak mempunyai kewenangan yang luas buat bisa membendung campur tangan Belanda yang terus menerus menindas rakyat.

Sejarah Lahirnya Buntet Pesantren

Sejarah Buntet Pesantren dalam Perjuangan Kemerdekaan RI 2
Foto: buntetpesantren.id

Sejarah Buntet Pesantren Kemauan Kyai Muqoyyim direstui oleh Sultan Chaeruddin Awwal buat meninggalkan Keraton Kanoman pada tahun 1770 Meter. Dengan bawa kekesalan serta kebencian yang mendalam terhadap Belanda pada waktu itu, yang terus menerus menindas rakyat dengan bermacam metode, akhirnya Kyai Muqoyyim berangkat ke bagian Timur Selatan Cirebon buat mencari perkambungan yang sesuai bagi hatinya.

Kampung Kedungmalang, Desa Buntet, Kecamatan Astana Japura inilah Kyai Muqoyyim mendirikan pesantren yang setelah itu diketahui dengan Pesantren Buntet ataupun Buntet Pesantren. Pada mulanya, Kyai Muqoyyim cuma membangun rumah yang sangat simpel dengan langgar (mushola) serta sebagian biliki.

Setelah itu Dia menggelar pengajian yang kesimpulannya banyak orang ketahui serta banyak yang mau jadi santrinya. Tidak hanya pembelajaran agama Islam yang diajarkan, Dia pula mengarahkan tentang ketatanegaraan.

Baca juga:  Filsafat Pemikiran Sejarah Yuval Noah Harari, Sebuah Perjumpaan Awal

Sejak Kyai Muqoyyim meninggalkan Kesultanan Kanoman, Belanda merasa takut dengan kharisma dia yang bisa pengaruhi rakyat buat melawan serta menentang Belanda. Kemudian Belanda mencari serta sukses menemukan keberadaan Kyai Muqoyyim.

Pihak Belanda juga merencakan strategi buat melaksanakan penyergapan. Tetapi rencana Belanda ini dikenal oleh Kyai Ardi Sela–teman Kyai Muqoyyim– serta memberitahukan kepada Kyai Muqoyyim. Mendengar berita itu, Kyai Muqoyyim bersama santrinya lekas wafat Pesantren Buntet mengarah ke Selatan, tepatnya di Desa Pesawahan Sindang laut di kediaman Kyai Ismail, adik Dia.

Sesampainya tentara Belanda di Pesantren Buntet membuat mereka terus menjadi geram. Sebab rencana mereka sudah bocor serta pesantren dalam keadaan kosong, kesimpulannya tentara membumihanguskan bangunan pesantren sampai rata dengan tanah. Apalagi mereka membrondong secara brutal bocah bocah seusia santri yang tinggal di perkampungan tersebut. Hingga saat ini di dekat tempat itu diketahui penduduk selaku makam santri.

Sepanjang di Pesawahan digunakan Kyai Muqoyyim serta Kyai Ismail buat membangun serta membenahi bermacam fasilitas kebutuhan pesantren semacam masjid serta bilik biliki santri, setelah itu diketahui dengan Pesantren Pesawahan. Sehabis dibentuk, aktivitas pengajian berjalan sebagaimana lazimnya pondok pesantren.

Sejarah Buntet Pesantren. Pada sesuatu hari, Kyai Muqoyyim serta Kyai Ismail mengadakan hajat memperingati perkawinan putra putrinya secara besar besaran. Seketika timbul pasukan Belanda sekalian menembakkan senjata apinya, para tamu undangan serta wisatawan panik. Tetapi sedini itu pula Kyai Muqoyyim melemparkan kendi ke arah balong serta di sinilah kehebatan Dia, seketika gelaplah di dekat serta terjadilah perlawanan dari Kyai Muqoyyim. Sampai kesimpulannya sebagian tentara Belanda mati serta terdapat yang melarikan diri.

Merasa wujud dirinya jadi sasaran utama yang dicari Belanda hingga demi berjalan lancarnya Pondok Pesantren Pesawahan, sebagian waktu setelah itu Kyai Muqoyyim berpamitan kepada Kyai Ismail buat meninggalkan Pesawahan mengarah Pemalang. Di Pemalang, di kampung Beji dia menyembunyikan bukti diri dirinya serta jadi abdi di tempatnya Kyai Abdussalam.

Pada sesuatu kala, seketika dari pemerintahan di Cirebon menemui Kyai Muqoyyim buat mengobati wabah penyakut To’un yang melanda warga di Cirebon. Mereka yang terserang wabah ini, pagi merasa sakit setelah itu sore wafat, malam merasa sakit setelah itu pagi mati. Kyai Muqoyyim mengiyakan serta kembali ke Cirebon buat menyembuhkan masyarakat. Kesimpulannya berkat Yang Maha Kuasa, wabah penyakit To’un ini sukses dipulihkan oleh Kyai Muqoyyim.

Baca juga:  Sejarah Stasiun Kereta Api di Indonesia dan Jejak Peninggalannya

Pasca peristiwa wabah To’ un, membuat kharisma Kyai Muqoyyim terus menjadi besar serta dikagumi warga dan pemerintahan Cirebon. Kondisi ini digunakan Dia buat membangun pesantren supaya lebih besar serta maju. Dia membangun kembali Pesantren Buntet, tetapi lokasinya beralih tidak jauh ke Desa Padukuhan, sebelah tenggara ialah di Blok Manis, Depok Pesantren Desa Mertapada kulon. Berjalannya waktu, Kyai Muqoyyim kesimpulannya dipanggil Allah serta dimakamkan di salah satu petilasannya, ialah di kampung Tuk, Singdanglaut.

Pondok Buntet dalam Pergerakan Nasional

Sejarah Buntet Pesantren dalam Perjuangan Kemerdekaan RI
Foto: buntetpesantren.id

Pertumbuhan Buntet Pesantren terus menjadi terlihat serta diketahui diberbagai daerah. Generasi penerus yang memperjuangkan Pesantren Buntet dipegang oleh KH. Muta’ad yang ialah generasi dari Ny. Rt. Aisyiah (Nyai Lor), cucu Kyai Muqoyyim. Masa KH. Muta’ad ini ialah masa gerbangnya ilmu, sebab masa ini terus menjadi tumbuh ilmu- ilmu yang diajarkan di pesantren Buntet. Pada masa ini pula, diadakannya upaya buat menerjemahkan kitab kuning ke dalam bahasa Jawa.

Generasi sehabis KH. Muta’ad, Pesantren Buntet dipegang oleh putranya, KH. Abdul Jamil. Pada masa ini Pesantren terus menjadi bangkit ke permukaan dalam kancah nasional. Dalam upaya meningkatkan pesantren, KH. Abdul Jamil merekrut tenaga tenaga pengajar yang potensial dalam mengelola serta memajukan pesantren sehingga Pesantren Buntet terus menjadi populer.

Apalagi KH. Abdul Jamil sudah sukses mencetak kader ulama penggerak nasional yang mempunyai pengetahuan luas terhadap bermacam aspek sosial, memiliki kreadibilitas besar dalam berbangsa, bernegara serta beragama. Ada pula tokoh penggerak nasional yang berguru ke KH. Abdul Jamil semacam H. Samanhudi (tokoh pendiri Sarekat Dagang Islam), KH. Ridlwan Abdullah (pencipta lambang NU) serta KH. Abbas (putra KH. Abdul Jamil, yang diketahui ulama moderat serta jago silat).

Perjuangan Pesantren Buntet berikutnya dipegang oleh KH. Abbas. Dia juga memperjuangkan semacam yang dicoba oleh para pendahulunya. Perlawanan terhadap para penjajah juga selakukan dicoba selaku langkah perlawanan buat mempertahankan tanah air. Keterlibatan Pesantren Buntet sangat nampak dalam pergolakan nasional pada masa KH. Abbas, yang pula santri Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU).

Tepatnya, sehabis Proklamasi Kemerdekaan RI dicetuskan pada bertepatan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, penjajah Belanda tidak begitu saja rela menyerahkan kedaulatan kepada rakyat Indonesia. Dalam bertopeng pemerintah sipil, Belanda masuk kembali ke Indonesia, apalagi kali ini bersama sekutu.

Hingga selaku langkah perlawanan para mujahid pembela negeri siap mempertahankan. Tidak ketinggalan, pasukan Sabilillah serta Hizbullah bergerak sangat militan, sehabis KH. Hasyim Asy’ari mengumumkan harus ain hukumnya membela negeri–dikenal dengan Resolusi Jihad– yang diumumkan pada 22 Oktober 1945.

Baca juga:  Sejarah Bahasa Walikan Khas Malang dan Keunikannya

Gaung Resolusi Jihad sanggup mendidihkan darah pejuang arek arek (pemuda) Surabaya serta sekitarnya. Perlawanan terhadap sekutu menggapai puncaknya pada 10 November 1945 yang setelah itu diketahui selaku Hari Pahlawan. Kala Bung Tomo bertanya dengan KH. Hasyim Asy’ ari buat memohon restu mengawali perlawanan terhadap Inggris, KH. Hasyim Asy’ari menanggapi “Tunggu dahulu, Singa Jawa Barat belum tiba”.

Baru dikenal setelah itu, kalau yang dimaksudkan Singa Jawa Barat merupakan KH. Abbas dari Pesantren Buntet. KH. Abbas tiba ke Surabaya bersama KH. Annas serta santri santri pilihannya. Atas restu KH. Hasyim Asy’ari, berangkatlah Bung Tomo, KH. Abbas serta yang lain bertempur melawan tentara Inggris.

Tidak hanya itu, selaku langkah menolong perlawanan rakyat mengusir penjajah, KH. Abbas pula mengirimkan santri- santrinya yang bergabung dalam Laskar Hizbullah yang sempat bertempur di Bekasi, Jakarta, Priyangan Timur, Jawa Barat bagian Timur, Cianjur serta sebagainya.

Pada masa Kemerdekaan, KH. Abbas dinaikan selaku anggota KNIP (Komite Nasioanl Indonesia Pusat) yang ialah Dewan Perwakilan Rakyat bersufat sedangkan sebelun terjadinya DPR hasil pemilihan universal. KH. Abbas ialah perwakilan alim ulama Jawa Barat. KH. Abbas meninggal 1 Rabiul dini 1365 H/ 1946 malam Ahad.

Setelah itu penerusan Pesantren Buntet KH. Muhtadi Abbas, Putra KH. Abbas. Belaiu meninggal akibat shock sebab mendengar berita ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati yang banyak merugikan bangsa Indonesia.

Sejarah Buntet Pesantren dalam Perjuangan Kemerdekaan RI. Terbukukannya karya Ahmad Zaini Hasan ini sudah sukses menguraikan Pesantren Buntet Cirebon. Penelurusan historis yang berhubungan dengan gerakan dakwah Islam, pergerakan nasional, dan kebangkitan serta perjuangan kemerdekaan nasional yang ditunjukkan pesantren Buntet membagikan cerminan jelas, atars keterlibatan pesantren dalam bela negeri. Suatu perjuangan nasional buat membela tanah air dari tiap tekanan serta serbuan dari penjajah demi mencapai kemerdekaan.

Walhasil, dengan hadirnya buku ini diharapkan bisa bertambah serta membentuk pemahaman dalam berbangsa serta bernegara selaku bentuk cinta tanah air (hubbul wathon). Paling utama generasi muda yang wajib menyadari kalau kedudukan sangat berarti serta wajib dimainkan dalam kehidupan berbangsa serta bernegara dalam konteks yang berbeda beda, ataupun dengan wujud yang berbeda- beda pula, sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh para pendahulu.

Catatan: Resensi Buku “Perlawanan dari Tanah Pengasingan” karya Ahmad Zaini Hasan tahun 2014.

Baca juga berbagai artikel menarik dari Terasikip di Google News


Syarif Dhanurendra
SEO & Webmaster Terasikip.com