Geger Mukhtamar NU Ke-29 di Cipasung Tahun 1994

Geger Mukhtamar NU
Kondisi Mukhtamar NU ke-29 di Cipasung (Foto: Nu Online)

Terasikip.com – Geger Mukhtamar NU. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926. NU telah mengalami serangkaian perkembangan zaman, sehingga dalam prosesnya NU telah beberapa kali mengadakan pelaksanaan muktamar. Sepanjang sejarah NU berdiri, pelaksanaan Muktamar NU ke-29 di Cipasung merupakan ajang kontestasi terpanas karena melibatkan pihak eksternal, yaitu Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru.

Muktamar NU di Cipasung menjadi arti penting bagi warga NU, karena pada momentum ini, sebenarnya merupakan proxy war antara Pemerintah Orde Baru yang mencalonkan Abu Hasan dan Rais Syuriah yang mengusung Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kiai Ilyas Ruchiat akhirnya terpilih kembali menjadi Rais ‘Aam dalam muktamar tersebut (Lip D. Yahya, 2006), meskipun Kiai Ilyas Ruchiat menjadi Rais ‘Aam, tidak mempengaruhi langkah Pemerintah Orde Baru untuk merebut kursi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Pemerintah Orde Baru membuat propaganda kampanye Asal Bukan Gus Dur (ABG) untuk meraup dukungan dari sejumlah suara, khususnya Jawa Timur. Ketika pelaksanaan muktamar dimulai, Presiden Soeharto bersama seluruh jajaran Orde Baru seperti Feisal Tandjung dan Harmoko ikut serta dalam rangkaian kegiatan muktamar (Robbert Hefner, 2000).

Secara terbuka, Gus Dur dalam sambutannya menyatakan bahwa dirinya merupakan penantang utama Pemerintah Orde Baru. Pernyataan tersebut jelas menuai respons negatif dari seluruh jajaran pemerintah yang hadir di arena muktamar dan mengakibatkan Presiden Soeharto tidak saling berjabat tangan dengan Gus Dur. Situasi forum mulai memanas ketika prosesi pemilihan Ketua Umum PBNU yang menghasilkan Gus Dur dan Abu Hasan sebagai kandidat terkuat. Saat itu, Pemerintah Orde Baru mengerahkan serdadu militer untuk berjaga di lokasi tempat penghitungan suara.

Pengawalan militer yang ketat, membuat para muktamirin merasakan intervensi Pemerintah Orde Baru yang cukup kuat di arena muktamar, sehingga dapat dipastikan Abu Hasan berhasil terpilih sebagai Ketua Umum PBNU yang baru. Kondisi tersebut, semakin memanas ketika memasuki tahapan penghitungan suara, perolehan suara di muktamar, Abu Hasan sempat mengungguli Gus Dur. Tetapi konsolidasi yang telah dibangun oleh Gus Dur akhirnya membuahkan hasil, hal ini terlihat ketika perolehan suara Gus Dur berhasil mengimbangi Abu Hasan. Pada tanggal 5 Desember 1994, panitia muktamar mengumumkan kemenangan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU Periode 1994-1999.

Peran Gus Dur dalam Memimpin PBNU

Pada tahun 1984, para muktamirin memilih Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di Situbondo, Jawa Timur. Bersamaan dengan itu, Kiai Achmad Shiddiq menjabat sebagai Rais ‘Aam untuk mendampingi Gus Dur (Said Aqil, 1999). Seiring berjalannya kepengurusan yang baru, Gus Dur aktif dalam memperkuat silaturrahmi sampai ke tingkat ranting, selain aktif melakukan silaturrahmi di internal, Gus Dur juga membantu menyuarakan keadilan bagi kelompok minoritas yang terpinggirkan, seperti pembelaannya terhadap etnis Tionghoa. Langkah besarnya cukup terlihat ketika Gus Dur kerap mengeluarkan pernyataan kontroversi di sebagian kalangan, baik melalui tulisan maupun saat diwawancarai di media massa dan cenderung menentang arus (Al-Zastrauw, 1999). Akan tetapi, melalui dukungannya terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru, Gus Dur sebagai ketua umum organisasi Islam pertama yang mendukung azas tunggal, membuat hubungan NU dengan Pemerintah Orde Baru menjadi harmonis (Laode Ida & Tantowi Jauhari, 1999).

Kedekatan Gus Dur dengan Pemerintah Orde Baru terbilang singkat, tahun 1985, Gus Dur melakukan kritik terhadap pemerintah karena kebijakan represifnya yang tidak berpihak kepada masyarakat di Kedungombo untuk pembangunan waduk yang didanai oleh World Bank dan terkait dengan beberapa kebijakan Pemerintah Orde Baru yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya (Greg Barton, 2017).

Sebagai akibat dari pernyataan Gus Dur, Pemerintah Orde Baru akhirnya mulai mengambil sikap untuk memanggil Gus Dur dan menuntutnya meminta maaf di Istana Merdeka, tetapi Gus Dur menolak permintaan tersebut, karena sikapnya yang menjadi oposisi Orde Baru, secara tidak langsung, Gus Dur membuat internal PBNU mulai khawatir ketika bertemu dengan pejabat Orde Baru yang didominasi oleh militer (Tirto.id, 2019).

Pada tahun 1990-an, sikap Gus Dur semakin berseberangan dengan pemerintah. Untuk merangkul sejumlah kalangan cendekiawan muslim, Presiden Soeharto membentuk organisasi bernama Ikatan Cendekiawan Muslim se- Indonesia (ICMI) yang diketuai oleh BJ. Habibie (Adian Husaini, 1996). Presiden Soeharto meminta kepada BJ. Habibie untuk mengajak Gus Dur bergabung di ICMI, tetapi Gus Dur menolak permintaan tersebut.

Sebaliknya, Gus Dur menilai bahwa pembentukkan ICMI hanya akan menjadi menimbulkan konflik sektarian di masyarakat Indonesia, sehingga untuk mengimbangi ICMI yang didominasi oleh cendekiawan muslim, Gus Dur membentuk Forum Demokrasi (Fordem) yang di dalamnya terdapat Bondan, Marsilam Simanjuntak, Rahman Tolleng, Rocky Gerung, dan aktivis lainnya (Andre Feillard, 1999).

Konflik antara Pemerintah Orde Baru dengan PBNU semakin tampak ke permukaan, seperti pada tahun 1992, ketika Gus Dur mengadakan Rapat Akbar di Jakarta, melihat potensi akan hadirnya jutaan warga NU, Pemerintah Orde Baru mengambil kebijakan untuk melakukan penghadangan guna menggagalkan berkumpulnya warga NU di Jakarta, terutama mereka yang datang dari Jawa Timur (Greg Barton, 2017).

Pentingnya NU Bagi Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru

Kontribusi NU dalam konteks wawasan kebangsaan semakin memiliki arti, sehingga langkah Gus Dur dalam melakukan penghidupan demokrasi di Indonesia merupakan langkah konkrit yang diperhitungkan oleh kalangan aktifis. Ketika Gus Dur membentuk Fordem untuk menandingi ICMI, sebenarnya Pemerintah Orde Baru sudah mulai berpikir untuk menghimpun kekuatan dari ICMI, tetapi hal itu dirasa kurang untuk mengimbangi manuver Gus Dur, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penggagalan terhadap kegiatan NU dan Fordem (M. Saleh, 1998).

Untuk menggagalkan Rapat Akbar NU di Jakarta, Pemerintah Orde Baru mempersulit penerbitan izin kegiatan yang baru disetujui satu hari sebelum pelaksanaan kegiatan berlangsung. Kegiatan yang akan dilaksanakan di Senayan, Jakarta akhirnya menjadi tidak karuan, sebagai bentuk perlawanan dari pemerintah terhadap sikap Gus Dur yang selalu berseberangan dengan berbagai kebijakan yang ada, akhirnya memberi dampak kepada NU itu sendiri (Tirto.id, 2019). Selain itu, Pemerintah Orde Baru juga menyiapkan polisi-polisi di perbatasan Jakarta dengan daerah lainnya dengan maksud untuk menghadang bus yang mengangkut warga NU untuk masuk ke Jakarta (M. Saleh, 1998).

Penghadangan ini terbilang sukses, karena PBNU memprediksi bahwa akan ada sekitar dua juta warga NU yang akan masuk ke Jakarta untuk menghadiri Rapat Akbar tersebut, akan tetapi realitanya adalah hanya sekitar dua ratus ribu yang hadir dalam kegiatan tersebut. NU menjadi penting bagi Orde Baru dan Presiden Soeharto, mengingat penggalangan massa tersebut dapat berujung pada bentuk dukungan terhadap Gus Dur yang selalu berseberangan dengan pemerintah. Bentuk pelarangan tersebut tidak hanya untuk kegiatan NU melainkan acara Fordem juga tidak mendapatkan tempat, sebab dikhawatirkan, Fordem dan NU akan menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan dalam bentuk kritik terhadap pemerintah (M. Saleh, 1998). geger mukhtamar nu

Pemerintah Orde Baru dinilai sukses melakukan pelemahan terhadap kepemimpinan Gus Dur dari luar dengan cara menggagalkan upaya untuk berkumpulnya NU di Jakarta. Manuver politik yang dilakukan Presiden Soeharto terhadap NU akhirnya mendapat respons keras dari Gus Dur, Presiden Soeharto mendapati surat yang dikirim dari Gus Dur dengan memberikan nada peringatan terkait sikap represif Pemerintah Orde Baru dengan menyebar polisi untuk menghadang warga NU yang datang ke Jakarta dengan membandingkan kondisi yang terjadi di Aljazair dan beberapa negara Timur-Tengah lainnya (Tirto.id, 2019).

Akhirnya Presiden Soeharto kemudian membalas surat Gus Dur yang disampaikan oleh Prabowo Subianto yang berisikan tidak perlu ikut campur dalam urusan politik, bila ia ingin terlibat dalam politik, maka Gus Dur harus menyetujui terpilihnya Soeharto sebagai presiden dalam suksesi kepemimpinan nasional mendatang dan memilih antara PBNU atau Fordem (Greg Barton, 2017).

Memasuki tahun 1994, masa kepemimpinan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU akan berakhir, Presiden Soeharto menilai bahwa bila Gus Dur tidak lagi menjabat, maka tidak akan ada lagi suara-suara yang dianggapnya sebagai barisan oposisi dan pernyataan sikap Gus Dur untuk tidak lagi mencalonkan sebagai Ketua Umum PBNU (Greg Barton, 2017). Selain itu, Presiden Soeharto juga menekankan bahwa pemerintah harus menjadi kontrol bagi masyarakat dan tugas sebagai wakil rakyat harus tegas, meskipun ada yang menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia mulai melemah karena dominasi dari Pemerintah Orde Baru (Republika, 2008).

Bagi Pemerintah Orde Baru, NU dan Gus Dur merupakan oposisi yang dapat membahayakan kekuatan politiknya. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan intervensi pada pelaksanaan muktamar mendatang dengan mencari calon alternatif, adapun sosok calon yang diajukan adalah Abu Hasan (Robbert Hefner, 2000).

Pada tahun yang sama, media cetak seperti Tempo, Detik, dan Editor dibredel oleh Departemen Penerangan karena tidak terima atas kebijakan Presiden Soeharto yang membeli kapal selam milik Jerman Timur. Saat Pemerintah Orde Baru berhasil menekan kekuatan media, justru Gus Dur kembali mengkritiknya, sehingga membuat pemerintah menjadi jengkel atas sikap dari Gus Dur (Andre Feillard, 1999). Kondisi ini semakin membulatkan tekad pemerintah untuk ikut andil dalam pelaksanaan muktamar. Sebelum melaksanakan muktamar, para Rais Syuriah berkumpul dan memutuskan agar Gus Dur kembali mencalonkan dirinya sebagai Ketua Umum PBNU dan dua pekan setelah itu, Gus Dur menyatakan sikap bahwa dirinya akan mencalonkan kembali (M. Saleh, 1998). geger mukhtamar nu

Geger Mukhtamar NU
Pertemuan Gus Dur dan Soeharto setelah Mukhtamar Cipasung 2 Tahun Sebelumnya (Gambar: Nasional.sindonews.com)

Sikap Ambisius Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru dalam Muktamar NU ke-29 di Cipasung

Mendengar pernyataan Gus Dur akan maju kembali sebagai ketua umum, awalnya tidak terlalu dihiraukan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan, kepemimpinan Gus Dur yang sudah terlalu lama dan cenderung berlawanan dengan pemerintah serta pernyataan-pernyataannya yang kerap kali menuai kontroversi, sehingga dapat dipastikan Gus Dur tidak akan terpilih kembali dalam muktamar mendatang. Akan tetapi, Gus Dur kerap melakukan konsolidasi melalui silaturrahminya ke berbagai daerah, utamanya adalah Jawa Timur, sehingga langkah inilah yang tidak diperhatikan oleh banyak orang. Dinamika perubahan tersebut merupakan sebuah perkembangan yang terjadi atas suatu desakan atau kondisi zaman yang kemudian mempengaruhi kondisi seseorang atau masyarakat (Suhandji, 2012). Untuk memuluskan langkah intervensinya, Pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah politisnya seperti,

  1. Kampanye Asal Bukan Gus Dur (ABG)

Kampanye merupakan salah satu langkah atau proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan dengan terstruktur dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek tertentu pada sejumlah khalayak masyarakat yang dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu (Rogers dan Storey, 1987). Langkah politis ini juga tepat dilakukan dalam berbagai kegiatan untuk mencari dukungan dari kelompok-kelompok sosial dan politik untuk mencapai tujuannya, sehingga dengan membuat satu agitasi dan propaganda mengenai kampanye Asal Bukan Gus Dur dinilai cukup tepat dalam meraup dukungan suara dari Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang di NU, Pemerintah Orde Baru juga menyiapkan calon alternatif seperti Chalid Mawardi (Forum Keadilan, 1994). Meskipun dilakukan kampanye tersebut, nampaknya, Pemerintah Orde Baru belum berhasil mendapatkan dukungan dari seluruh jajaran pengurus NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah. geger mukhtamar nu

  1. Pendekatan Terhadap Tokoh NU

Dalam memuluskan langkahnya, Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru juga menjalin dukungan terhadap beberapa tokoh NU seperti Kiai Yusuf Hasyim agar dapat menjadi suksesor dalam pemenangan Abu Hasan. Langkah politis selanjutnya adalah pendekatan terhadap Kiai Yusuf Hasyim yang merupakan putra dari Kiai Hasyim Asy’ari dan juga paman Gus Dur (M. Halwan, 2008).

Kiai Yusuf Hasyim dinilai sebagai orang yang juga bersikap oposisi terhadap kepemimpinan Gus Dur di PBNU, meskipun dirinya menjabat dalam jajaran Rais Syuriah, tetapi sikap Gus Dur yang kerap berseberangan dengan Pemerintah Orde Baru dan penolakannya untuk bergabung dengan ICMI, sehingga menyebabkan hubungan antara paman dan keponakan ini menjadi retak. Inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mencari dukungan sebanyak-banyaknya, terlebih Kiai Yusuf Hasyim merupakan mantan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang masih memiliki pengaruh di beberapa tokoh NU lainnya dan juga menjadi pengasuh dari Pondok Pesantren Tebuireng sejak tahun 1965 (Mubarok & Fathurrahman, 2011), sehingga langkah inilah yang diperhitungkan oleh Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru untuk menggagalkan pemenangan Gus Dur.

  1. Penerjunan Militer ke Lokasi Muktamar NU di Pondok Pesantren Cipasung

Pada tanggal 1 Desember 1994, PBNU menggelar muktamarnya yang ke- 29 di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, tetapi kegiatan Muktamar NU ke- 29 baru dibuka secara resmi pada tanggal 2 Desember 1994. Muktamar NU kali ini digelar di kediaman Rais ‘Aam PBNU Kiai Ilyas Ruchiat. Pada kesempatan ini, kepanitian Muktamar NU ke-29 mengangkat tema yaitu “Mengembangkan Prakarsa dan Ikhtiar Kolektif sesuai Tuntunan Khittah NU, untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan”, tema ini dipilih dengan maksud bahwa warga NU benar- benar menjalankan NU secara organisatoris yang jauh dari kepentingan politik praktis, sesuai dengan amanah yang diberikan oleh para muktamirin pada saat pelaksanaan Muktamar NU ke-27 di Situbondo (NU Online, 2022).

Presiden Soeharto dan jajaran Pemerintah Orde Baru seperti Feisal Tandjung, Hartono, Prabowo Subianto, Siti Rukmana dan ketua umum Golkar yaitu Harmoko turut hadir dalam pembukaan Muktamar NU ke-29 di Pondok Pesantren Cipasung. Akan tetapi, kedatangan jajaran Pemerintah Orde Baru adalah untuk memberikan dukungan terhadap Abu Hasan dalam muktamar (Robbert Hefner, 2000). geger mukhtamar nu

Sesampainya di lokasi muktamar, Presiden Soeharto dan jajaran Pemerintah Orde Baru disambut oleh Kiai Ilyas Ruchiat untuk diantar sampai ke kursi khusus presiden dan jajaran pemerintah yang hadir, sedangkan Gus Dur, tetapi ia duduk bersama Megawati Soekarno Putri ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di kursi paling belakang (Islahuddin, 2010).

Pada tanggal 2 Desember 1994, Kiai Munasir Ali bertindak sebagai ketua pelaksana kegiatan muktamar tersebut, ia membuka acara dengan bernada kritik yang dialamatkan kepada Presiden Soeharto karena masa jabatannya yang terlalu lama sebagai pemimpin negeri (Farid, 2020). Meskipun mendapat sindiran dari ketua panitia, Presiden Soeharto tidak menghiraukannya, ia dan jajaran pemerintah tetap berfokus pada perebutan kursi ketua umum.

Prosesi kegiatan muktamar terus berlangsung, Kiai Ilyas Ruchiat akhirnya terpilih menjadi Rais ‘Aam PBNU periode 1994-1999, sidang pleno terus berlanjut sampai akhirnya tiba saat pemilihan bakal calon Ketua Umum PBNU. Memasuki penjaringan bakal calon ketua umum, Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru mengerahkan serdadu militer. Setelah mekanisme bakal calon ketua umum selesai, muncul beberapa nama seperti, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Abu Hasan, Fahmi Saifuddin, dan Chalid Mawardi.

Sesuai data yang terhimpun dalam perolehan bakal calon Ketua Umum PBNU Gus Dur dan Abu Hasan akhirnya yang menjadi kandidat terkuat dalam putaran kedua. Mengingat kuatnya dukungan Gus Dur dari jajaran NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pemerintah Orde Baru kembali mengerahkan 1.500 personel untuk berjaga di lokasi pemungutan suara. Perbandingan suara yang tidak terlampau jauh dari Gus Dur, para pendukung Abu Hasan melakukan konsolidasi suara kepada pemilih Fahmi Saifuddin dan Chalid Mawardi, sehingga bila suara yang diperoleh oleh Abu Hasan bertambah 23 suara, maka dapat dipastikan Abu Hasan akan memenangi pertarungan pada Muktamar NU ke-29. Saat, sidang pleno diskors untuk beberapa jam, pemerintah kemudian kembali melakukan konsolidasi dukungan terhadap Abu Hasan, meskipun tidak mendapat simpatik dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pemerintah mendapat dukungan besar dari pengurus di luar Jawa, sehingga akan dapat menjadi suara tandingan dari kekuatan di Jawa Timur (Laode Ida, 2004). geger mukhtamar nu

Setelah sidang pleno kembali dimulai, panitia muktamar, kembali membuka pemilihan, berselang dua jam, akhirnya penghitungan kembali dilakukan. Pada awal penghitungan suara, Gus Dur dan Abu Hasan kerap saling bersaing menjadi yang teratas, tetapi Abu Hasan akhirnya dapat mengungguli perolehan suara Gus Dur dan sempat tertinggal jauh (Kompas, 1994). Abu Hasan berusaha untuk tetap tenang, mengingat ia berhasil mendapat dukungan dari Chalid Mawardi dan Fahmi Saifuddin sehingga sangat tidak mungkin bagi Gus Dur untuk menjadi pemenang dalam kontestasi muktamar kali ini, terlebih Kiai Yusuf Hasyim yang ikut dalam kelompok Abu Hasan. Kondisi forum mulai memanas, tatkala Gus Dur tertinggal jauh dari Abu Hasan, hal ini dikarenakan adanya dukungan kuat dari Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru serta personel militer yang ditugaskan untuk mengamankan jalannya muktamar. geger mukhtamar nu

Kondisi akhirnya mulai mencair ketika perolehan suara Gus Dur kembali muncul dan menyusul Abu Hasan. Forum muktamar saat itu mulai kembali ramai, sehingga penghitungan suara akhirnya menunjukkan antara Gus Dur dan Abu Hasan menjadi seimbang, tentu saja, Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru merasa heran, terlebih ketika Gus Dur berhasil melampaui suara Abu Hasan, sehingga membuat pesimis bagi para pendukung Abu Hasan dan kubu Pemerintah Orde Baru, sampai akhirnya panitia muktamar mengumumkan kemenangan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU Periode 1994-1999.

Kemenangan Gus Dur langsung tersiar di lokasi penghitungan suara, para muktamirin tidak menyangka bahwa Gus Dur akan menjadi Ketua Umum PBNU untuk periode 1994-1999, setelah kemenangan Gus Dur, para muktamirin meneriakan yel-yel Soeharto, has to go! (Kompas, 1994), mengingat Presiden Soeharto dan Pemerintah Orde Baru gagal dalam melakukan intervensinya di Muktamar NU ke-29 untuk memenangkan Abu Hasan. Kemenangan Gus Dur ini dapat terlihat dari konsolidasi yang telah dibangun olehnya sejak awal kepemimpinan di PBNU tahun 1984, meski kerap menuai kontroversi Gus Dur tidak memperdulikan kritikan yang tertuju pada dirinya. Selain itu, kemenangan Gus Dur membuat Presiden Soeharto beserta Pemerintah Orde Baru yang hadir dalam muktamar tersebut menjadikan gap yang cukup tajam, sehingga Presiden Soeharto tidak mau mengakui kepemimpinan Gus Dur dan Kiai Ilyas Ruchiat di PBNU sejak terpilihnya pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung. geger mukhtamar nu

 

Penulis:

Nur Fadilah Yusuf

(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada)