Terasikip.com – Tokoh Pendidikan Kritis. Konsep pendagogi kritis yang disampaikan Paulo Freire dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas” menjadi sebuah karya fenomenal yang banyak mempengaruhi model pendidikan di seluruh dunia. Buku tersebut baru ditulis Freire pada tahun 1970 an.
Jauh sebelum itu pada tahun 1920-an, para tokoh-tokoh pendidikan nasional seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammad Syafei dan Tan Malaka ternyata sudah mempraktikan pendidikan kritis ini. Secara implisit dan substantif, pendidikan kritis Paulo Freire sudah terinternalisasi dalam pendidikan para tokoh nasional kala itu.
Meskipun demikian, nyatanya karya-karya mereka justru sedikit sekali digunakan sebagai acuan belajar sistem pendidikan saat ini. Seiring dengan berkembangnya zaman, pendidikan di Indonesia semakin keluar dari marwah pendidikan yang di rintis oleh para pendiri bangsa. Pendidikan masa kini cenderung mengutamakan persaingan dan pembelajaran yang berorientasi pada hasil.
Pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara bisa kita baca dalam kumpulan tulisannya yang dibukukan dengan judul “Karya Ki Hajar Dewantara. Bagian pertama: Pendidikan (1962)”[1]. Asumsi Ki Hajar tentang manusia yang merdeka mengatakan bahwa “manusia berkuasa untuk menetapkan apa yang baik atau yang buruk bagi hidupannya..”.
Sehingga apa-apa yang terjadi dalam diri kita di masa depan masih berada dalam kendali kita. Kita bebas untuk memilih seperti apa kita hidup sesuai dengan pilihan yang kita pilih. Kemerdekaan yang dimaksud disini adalah bukan kebebasan yang semaunya, tetapi kebebasan yang memperhatikan “tertib damai hidup bersama”. Kebebasan yang tidak menggagu kemerdekaan orang lain dan bersama melahirkan kedamaian.
Ki Hajar tidak hanya berhenti pada definisi kemerdekaan saja. Ia melanjutkan dengan praktik dalam kegiatan di ruang kelas. Sebagai contoh, ketika murid terlambat datang, guru tidak diperkenankan untuk menghukum menulis lima puluh kali “kita tidak boleh atau tidak akan datang terlambat lagi”, berdiri di depan kelas dengan satu kaki, dan lain sebagainya. Melainkan memberikan tanggungan tetap berada di kelas saat setelah selesai pelajaran dan wajib mendengarkan materi yang belum dijelaskan karena terlambat tadi.
Ki Hajar bahkan mengungkapkannya dengan begitu radikal, yaitu “para guru sesungguhnya berhamba pada murid”. Pemberian sangsi pada anak tidak boleh dilakukan dengan kekerasan. Setiap guru harus mengerti potensi murid-muridnya tanpa harus menggunakan unsur paksaan. Menurut Ki Hajar, menjalankan ketertiban berdasarkan kekerasan hanya akan membuat siswa tertib-damai dengan alasan bertabiat takut.
Tokoh yang mengembangkan pendidikan kritis lain adalah Muhammad Syafei. Sayangnya namanya sekarang jarang sekali kita dengar, pemikirannya hampir dilupakam, bahkan di kelas-kelas yang mempelajari ilmu pendidikan. Muhammad Syafei atau biasa dipanggil Tengku Syafei adalah perintis pendidikan INS (Indonesisch Nederlansche School) Kayu Taman di Sumatera.
Pada awalnya, minat dan kecintaannya pada pendidikan baru tumbuh saat ia mengajar di sekolah R.A Kartini, sekolah yang dikelola sejumlah orang Belanda. Lalu pada tahun 1922 oleh ayah angkatnya, Syafei kemudian diarahkan untuk belajar lebih lanjut ke negeri Belanda.
Di Belanda ia banyak belajar tentang pendidikan kerajinan. Menurutnya ini merupakan cara untuk membekali anak-anak agar kreatif, mandiri dan nantinya dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, tidak meminta-minta pekerjaan ke pemerintah kolonial Belanda pada saat itu.
Ini juga sangat selaras dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia yang lebih mengedepankan pendekatan kebudayaan. Di mana di era tersebut bermunculan organisasi kepemudaan yang dicekal oleh pemerintah Belanda karena kedapatan melakukan pendekatan yang politis bahkan radikal.
Konsep dasar pendidikan yang disampaikan Syafei adalah bagaimana cara pendidik bisa menghargai peserta didik. Ia berkeyakinan bahwa setiap siswa pasti mempunyai potensi masing-masing. Sehingga sebagai pendidik diwajibkan untuk membantu siswa menggali potensi yang ada.
Kata-kata yang seringkali diucapkan Syafei dan telah menjadi filosofi INS Kayu Taman adalah “Jangan berharap buah mangga dari pohon rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis”. Filosofi ini juga mirip dengan pemikiran Ki Hajar dengan Taman Siswa-nya. Taman yang didalamnya tumbuh berbagai macam jenis tanaman dan cara merawatnya pun mendapat perlakuan yang berbeda.
Muhammad Syafei dalam proses belajar mengajarnya di INS Kayu Taman juga menerapkan kurikulum belajar yang ia namai “Kurikulum Plus”. Ada empat kategori bidang ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari yaitu akademik, keterampilan, kerohanian dan kesiswaan. Pembagian ini merupakan kritik Syafei terhadap sistem pendidikan yang terlalu mendewa-dewakan intelektualisme dan kurang menghargai kerja tangan. Syafei juga mengutamakan pendidikan yang menghargai proses, bukan semata karena hasil. Sesungguhnya siswa yang belajar dengan sungguh-sungguh dalam kesehariannya merupakan tujuan pendidikan yang sebenarnya dan wajib diberi reward yang pantas.
Tokoh lain yang terkenal karena pemikiran revolusionernya adalah Tan Malaka. Ia merupakan tokoh penting dalam sejarah dan telah menulis banyak buku. Namun sayangnya namanya kini seolah-olah hilang dari peredaran sejarah dan pendidikan. Pemikirannya pun sangat jarang didiskusikan dikalangan guru ataupun kita yang bergerak di bidang pendidikan. Buah pikirnya seolah-olah lenyap seiring berkembangnya zaman dan modernitas saat ini. Padahal hasil-hasil pemikiran Tan Malaka lebih menekankan pada nilai-nilai humanisme dan keadilan.
Sehingga sangat disayangkan apabila sekarang disatu sisi murid semakin mudah mengakses ilmu pengetahuan karena adanya teknologi. Namun disaat yang bersamaan rasa kepekaan terhadap sesama pun semakin pudar.
Meskipun persentuhan langsung Tan Malaka dengan dunia pendidikan bisa dibilang singkat. Namun demikian pemikiran dan praktik pendidikan Tan Malaka luar biasa. Pemikiran pendidikan Tan Malaka yang kritis itu bisa dibaca dalam tulisan pendeknya yang berjudul SI School dan Onderwijs terbitan tahun 1921 [2].
Menurut Tan Malaka kekuasaan modal terdiri atas orang-orang yang memperoleh pendidikan yang didasarkan atas kemodalan, dalam bahasa sekarang orang biasa menyebut pendidikan kapitalistik. Pendidikan yang memerdekakan menurutnya hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan. Sejatinya pendidikan bukan hanya untuk kepentingan-kepentingan pemodal namun juga kepentingan rakyat yang tertindas. Sekarang yang terjadi diantara keduanya tidaklah berimbang sehingga terdapat ketimpangan yang semakin menjalar ke aspek-aspek lain, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum dan lain-lain.
Tan Malaka tidak menyangkal bahwa tujuan anak bersekolah adalah untuk bekerja dan mencari penghidupan. Akan tetapi pada saat yang bersamaan Tan Malaka juga mengkritik pendidikan yang lebih mengarahkan kepada dunia ke-modal-an yang tidak berbelas kasihan satu sama lain. Dunia kemodalan menurutnya juga hanya memberi rezeki kepada mereka yang kuat dan pintar saja. Sehingga sekolah SI (Sarekat Islam) yang dirintisnya memberikan hak kepada siswanya untuk berorganisasi dan suka bergaul kepada siapa saja.
Upaya tersebut dimaksudkan agar mereka dapat peduli dan sadar kepada semua orang terutama yang biasa disebut Tan Malaka “kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan”. Menurut Tan Malaka sekolah-sekolah yang dibuat pemerintah kolonial sekadar berupaya menanamkam kebencian pada kaum kromo yang kotor dan tidak didasarkan pada kecintaan terhadap rakyat. Sekolah semacam itu menurutnya semakin membuat kaum terpelajar semakin jauh terpisah dari rakyatnya. Oleh karena itu Sekolah SI menurut Tan Malaka berupaya untuk membentuk lulusan yang kelak kemudian hari tidak membelakangi rakyat, tapi harus berdiri paling depan membela rakyat.
[1] Lihat Kumpulan tulisan Ki Hadjar Dewantara. (1977). “Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa
[2] Baca Tan Malaka. 1987. SI Semarang dan Onderwijs. Jakarta: Yayasan Massa. Bisa diunduh di
https://www.marxists.org/ indonesia/ archive/malaka/ 1921-SISemarang.htm
2 Comments